SIAPA YANG AKAN MENERUSKAN PROFESI TANI?
Rabu sore lalu aku bersama kawan-kawan dari Wangsakerta berkunjung ke peternakan kambing Bang Shobirin. Lokasinya di Desa Sampih, Kecamatan Susukan Lebak, Kabupaten Cirebon. Perjalanan dari Saung Wangsakerta di Dusun Karangdawa, Setu Patok ke peternakan ini kira-kira memakan waktu kurang lebih 45 menit melalui jalan kampung yang berliku-liku.
Setelah banyak cerita soal kambing, Bang Shobirin mengatakan bahwa sawah Wangsakerta yang dikelolanya akan memasuki masa tanam atau istilahnya “nandur” menurut masyarakat Cirebon. Aku tertarik untuk membantunya. Sebagai anak petani rasanya rugi kalau tidak terlibat, karena aku tidak pernah mengalami nandur. Selama ini aku hanya ke sawah untuk mengantarkan makanan buat bapak. Terkadang aku membantu menyangkul, tetapi kegiatan itu sangat jarang aku lakukan karena biasanya aku diusir oleh Bapak. “Sudah gak usah nyangkul, pulang sana”, katanya, karena menurutnya pekerjaanku tidak beres hanya merepotkan dia untuk membenahinya.
Menanam di sawah bang shobirin adalah kesempatan aku untuk mengalami langsung menanam padi. Apalagi sawah dengan luas 150 bata atau 2100 m2 ini dikelola secara organik, suatu hal yang langka di Cirebon karena umumnya menggunakan pupuk kimia. Aku mengajak seorang kawan, Danish, yang juga sedang ikut program Ngenger di Sekolah Alam Wangsakerta untuk ikut.
Kami berangkat jam 20.00 dari Saung Wangsakerta. Kami menginap di rumah kerabat bang sobirin, agar tidak kesiangan ikut nandur. Namun demikian hingga sekitar jam 02.40 mataku tak juga terlelap. Di luar jendela yang hanya tertutup dengan kain terdengar bunyi parabotan rumah bersahutan dengan suara tiang listrik yang ditabuh. Suaranya persis seperti tabuhan membangunkan sahur atau menandakan sedang ada hansip menjaga keamanan desa. Saat teringat bahwa nandur akan di mulai jam 06.00, aku berusaha tidur tanpa menghiraukan suara-suara yang bersahutan di luar.
Pukul 06.00 sinar matahari yang masuk melalui jendela membangunkanku dari tidur. Dii atas meja sudah ada makanan yang tersaji mungkin makanan itu sudah disiapkan oleh bibi, pikirku. Kemudian terdengar suara motor di depan pintu. Bang sobirin datang, aku bergegas mandi, dan sarapan.
Sesampainya di tengah sawah sudah ada lima perempuan dewasa yang kami sebut dengan bibi yang sedang nandur. Mereka membagi pekerjaan ada yang ngarit (mencabut benih), dan nandur. Sementara satu orang lelaki dewasa yakni kang Iwan, membuat garis dan kotak dengan semacam garu dari kayu untuk membuat pola-pola batas garis tanam yang disebut tehnik Ngegaret. Cara ini berbeda dengan yang dilakukan di desaku. Petani di desaku menggunakan tali untuk membuat pola garis tanam. Teknik ngegaret ternyata ini lebih cepat daripada membuat garis dengan tali.
Awalnya aku masih sekedar memperhatikan dari jauh sambil menghisap tembakau. Aku mengamati cara bibi mencabut benih. Tangannya bekerja sangat terampil dan cepat. Sepertinya ini sangat mudah dilakukan, pikirku. Lalu aku mulai mencoba mencabut benih padi (wini) sambil memperhatikan tangan bibi yag sangat terampil , “bi Ena ajarakeun budak eta”, ucap bang sobirin. Bi Ena mejelaskan cara mencabut benih dengan posisi miring. “pastikan tanah terpisah dari akar agar lebih mudah ditanam”, bibi menjelaskan sambil mencontohkan cara memisahkan tanah. Setelah aku melakukannya, ternyata tidak semudah dugaanku. Berkali-kali aku salah melakukannya, tetapi aku tidak menyerah.
Dari kegiatan ini aku mendapat pelajaran yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya sebagai anak petani, yakni menanam padi di sawah. Aku mengalami langsung proses menanam benih padi sebagai salah satu upaya menghargai nasi yang kita konsumsi setiap hari. Ini adalah kegiatan yang sangat berkesan buatku karena profesi petani selama ini seperti dijauhkan dariku, meskipun itu profesi bapakku sendiri.
Aku merasakan para petani seperti halnya Ibu dan Bapakku punya rasa pesimis yang besar bahwa profesi ini bisa menjadi tumpuan hidup anaknya. Mungkin ini sebabnya di lagu tarling Cirebon liriknya menggambarkan rasa pesimisme petani. "Nok, kakang mah cuman wong tani, mung bisa tulus nyayangi, tapi lamun senok ngejar materi, pasrah bae los mana luruh wong sugih. Nok kakang mah cuman wong tani". Dalam lagu itu petani digambarkan sebagai seorang yang putus asa, pasrah pada keadaan nasibnya. Kehidupan petani dirundung kesengsaraan, keahlian bertanipun seperti tidak layak untuk diturunkan ke anaknya, lebih baik anak petani di sekolahkan dan bekerja dibidang yang lain. Jarang sekali terlihat anak muda yang mengolah sawah atau sekedar membantu bapaknya di sawah. Kalau sudah begini, siapa nanti yang akan menjadi petani? miris sekali, kita hidup di negara agraris yang semakin kehilangan petani.
Adzan dhuhur berkumandang matahari sudah sangat terik, pergelangan tangan dan kaki sudah terasa lemas. Masih tersisa empat petak sawah yang belum ditanam, kami menjeda pekerjaan dan melanjutkan di esok hari. []
*) Fatkah Mukhlisiady adalah peserta program Ngenger Angkatan 3 Tahun 2022 Sekolah Alam Wangsakerta. Saat ini ia kuliah di Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) , IAIN Syekh Nurjati Cirebon.