Sepatah dua patah kata tentang Saung Wangsakerta
Siapa yang tak silau melihat kemajuan, siapa yang tak galau memandang hidup stagnan. Tahun lalu, aku berkesempatan belajar di saung para pemimpi, saung Wangsakerta yang diberkati, dibimbing langsung almukarom Bu Ida, didampingi Pak Wakhit tercinta, dibersamai kakak-kakak filsuf yang mencerahkan cakrawala.
Kurang sekali empat hari, hitungan secepat itu barangkali hanya bisa digunakan untuk menatap pintu dan bangunan sekitarnya, kebun dan ternaknya, jalan, dan danau Setupatoknya, tanpa tau isi, guna, manfa'at, cara mengelola dan mengembangkannya. Namun secepat itu mungkin justru jadi anugrah.
Bertemu orang-orang hebat adalah anugrah, bisa mengenal, melihat dari dekat aktifitas mereka, tutur, prilaku, tekad, dan keikhlasan guru-guru yang nyata di depan mata, adalah anugrah terbesar seorang murid.
Di saung Wangsakerta yang bersahaja, aku belajar banyak tentang membangun desa, pengorganisiran masyarakat, pemetaan, bertani, berkebun, ternak, dan berkarya. Barangkali kalau dipikir lebih dalam Bu Ida serta sang suami ingin mencetak manusia yang asih pada bumi dan penghuninya.
Syarat utama belajar di sana tak sulit, cukup dengan "Mau Belajar dan Berani Mencoba". Karena pengetahuan bisa kita cari di lembar buku-buku, seminar sekitar, atau bahkan tutorial youtube. Namun primadona pembelajaran di Wangsakerta adalah diskusi dan aksi, seni berpikir, dan kreatifitas bertindak.
Mengutip dari refleksi Bang Faiz kemarin, "Pengetahuan dapat kita dapat lewat akal pikiran, dan pemahaman kita temui lewat pengalaman". Terjun ke lapangan, uji coba, tentu lebih dulu dengan bekal pengertian dan arahan, agar tak salah langkah, agar juga menuai hasil yang diharapkan.
Selebihnya hanya tentang rindu, semoga panjang umur hal-hal baik, semoga tumbuh subur kebajikan, menyebar, seantero Nusantaraš„
love a lot Wangsakerta
Penulis: Zaenul, Mahasiswa Mahad Aly Ponpes Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin, Cirebon