Semalam di Wangsakerta
Mendengar pak Ahmad Mahmudi akan hadir di Wangsakerta, saya tersetrum semangat untuk hadir dan bertatap muka dengan beliau. Terlebih ada acara nobar tiga film tentang konservasi tanah dan air (rekomendasi dari beliau), maka pertemuan ini bagi saya hukumnya menjadi wajib. (Dosa kalau tidak datang!).
Jika kamu pernah berkunjung ke Wangsakerta, kita bisa mengingat lukisan mural mahakarya bang
Faiz dan kawan-kawan ngenger (siswa belajar Wangsakerta) yang menggambarkan empat tokoh guru sekaligus panutan pak Wakhit dan bu Ida, yang menjadi role model keduanya dalam menjalani setiap segi kehidupan, terutama dalam segi pendidikan, kemasyarakatan, dan pelestarian alam. Empat tokoh dalam lukisan itu tak lain adalah Pak Roem, Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini, dan Pak Ahmad Mahmudi.
Nah, kalau ilmu itu ibarat nasab atau silsilah, maka kemarin malam saya telah bertemu kakek guru dalam semangat dan pengetahuan tentang menjaga-melestarikan alam, pendampingan masyarakat, dan pengabdian. Karena hal itu pertama saya terima dari Bu guru Ida dan Pak guru Wakhit, yang keduanya peroleh dari empat tokoh
guru diatas, termasuk Pak guru Ahmad Mahmudi. (Sembah hormat kakek guru). Katanya, guru, "yo, sing digugu lan ditiru."
Selama pemutaran dan diskusi tentang film yang ditampilkan, saya sibuk merenungi betapa tidak
pekanya saya dalam menjalani kehidupan ini, bagaimana mungkin saya yang setiap hari menginjak tanah, sehari-hari memakai air untuk minum, mandi, dan mencuci, tak pernah terpikir akan bahaya keduanya jika terjadi krisis kekurangan suatu hari nanti.
Dari film-film yang ditampilkan, dijelaskan betapa krisis pangan akan menimbulkan pemberontakan bahkan peperangan antar negara, bahaya hutan gundul yang dapat mempengaruhi ekosistem dan keseimbangan alam, siapa yang pernah mengira tanah yang menyerap air untuk disimpan, diserap tumbuh-tumbuhan, kini terhalang karena si tanah banyak dibangun rumah, tanah dibeton, diplester, dipabrik!?
Pak Ahmad Mahmudi bercerita dari hasil penelitian dan pengalaman beliau bahwa, banyak sekali tumbuhan-tumbuhan punah, danau mengering, hutan gundul, sementara masyarakat tetap stagnan bahkan bodo amat akan hal-hal yang riskan tersebut. Barangkali jika dihitung orang yang sadar dan peduli akan bahayanya adalah satu banding seribu, sangat minim, sepi, sepertinya dapat dihitung dengan jari, cukup satu tangan.
Di sela waktu bertanya, ada seorang bapak membagikan pengalamannya membantu suatu desa yang selalu gagal panen tanpa tahu penyebabnya, sang bapak dengan kawan-kawan membimbing warga desa itu dengan ilmu pertanian yang dimiliki, sampai desa yang setiap tahun tidak pernah panen itu, bahkan menjadi sampai tiga kali panen dalam setahun, dia dan kawan-kawannya mendapat penghargaan pemerintah atas dedikasinya itu. Seorang pemuda mengacungkan tangan untuk bertanya, "saya anak petani, tapi kenapa orang tua saya tidak ingin saya menjadi petani?" Pak Mahmudi memberi tahu, "bahkan saya sendiri, dulu juga dilarang orang tua bertani, saya disuruh keluar dari rumah untuk belajar". Saya berpikir, barangkali saking payahnya bertani, orang tua dengan naluri mereka tak ingin anak-anaknya merasakan payah itu. Atau justru bertani itu, saking nikmatnya, orang tua jadi tak ingin diganggu bahkan oleh anak mereka sendiri?
Malam semakin larut dan diskusi harus dihentikan, mengingat ada jadwal penanaman pagi nanti, dan pak Mahmudi juga harus segera terbang ke tujuan selanjutnya. Senyuman tipis rembulan tampak indah di atas langit, jelas ia senang melihat ada penduduk bumi yang masih peduli pada kekasihnya yang tak bisa ia peluk karena terhalang atmosfer itu, Saya bersyukur bisa hadir dan mendengar kuliah beliau, bisa bertemu bu Ida dan pak Wakhit yang terus sehat dan semangat, bertemu kakak-kakak saung dan ibu-ibu KADARKIM.
Saat dunia kian terasa cepat dan orang-orang penuh ambisi membuat ini dan anu, pindah dari project satu ke project lain, mengejar target sampai lembur berhari-hari, saya lebih senang berada di samping mereka yang menghayati detik-detik yang berlalu, mereka yang menghirup udara segar di pagi hari sambil menyiapkan sarapan, menyapu halaman, membersihkan diri dan seisi rumah, bersiap menyambut bila nanti ada tamu berkunjung, berbincang tentang rencana hari esok dengan memipil persiapan-persiapannya di hari ini. Dan semua itu tak saya temukan kecuali di rumah, dan Wangsakerta.
Love a lot
Zaenoel_E (alumni Mahad Ali Ponpes Kebon Jambu Cirebon)