Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

Selalu Ada Pertama Kali (Refleksi pengalaman terlibat dalam pengorganisasian masyarakat)

Catatan Lapangan
Faiz Naufal Dhiya'ur Rochman
Cover Image for Selalu Ada Pertama Kali (Refleksi pengalaman terlibat dalam pengorganisasian masyarakat)

Ini pertama kali, saya merasa beruntung dapat menyaksikan sekelompok ibu-ibu di suatu desa bergotong royong, bekerjasama, berupaya untuk menyelesaikan suatu masalah dari situasi
keadaan-kehidupan yang dialaminya. Proses seperti ini bukan berangkat secara
tiba-tiba, melainkan melewati proses pendidikan panjang tentang keadaan
kehidupan yang dijalani sepanjang hidupnya. Begitupun, alasan mengapa catatan refleksi ini ditulis. Sebuah upaya bagi saya sendiri untuk mengevaluasi dan
melakukan pengayaan atas pengalaman pembelajaran, terkhusus mengenai ‘Pembelajaran Bersama Masyarakat’.

Kesaksian atas sekelompok ibu-ibu
diatas merupakan pengalaman yang saya temui di pinggiran Cirebon, tepatnya di
dusun Karangdawa dan Kedungkrisik. Suatu kelompok yang disebut Kadarkim (Keluarga Sadar Iklim). Anggotanya 131 Orang yang terdiri dari 10 kelompok yang tersebar diberbagai RT di Dusun Karangdawa dan Kedungkrisik. Kegiatan Pengorganisasian Masyarakat terutama Ibu-ibu ini diinisiasi oleh Yayasan Wangsakerta dan hingga saat ini masih berjalan (hari ini adalah bulan ke-enam). Saya termasuk salah satu warga belajar Wangsakerta dan berkesempatan untuk belajar mendampingi ibu-ibu dalam program belajar Kadarkim. 

faiz3.jpg

Menemukan Makna Baru

Di bangku perkuliahan kita sering
mendengar kata ‘Belajar Bersama Masyarakat’ atau lebih familiar dengan sebutan Pengabdian kepada masyarakat, bahkan dibeberapa tagline acara (kegiatan) dimedia sosial acapkali menyematkan kata ‘belajar bersama masyarakat/pengabdian/kata sejenis
lainnya’ terpampang. Tapi, apa sebetulnya ‘Belajar Bersama Masyarakat’? jangan-jangan bukan kita yang belajar, tapi kita yang menggurui. Jangan-jangan bukan mengabdi melainkan hanya sekedar mengabadikan moment untuk tujuan tertentu.

Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk mendefinisikan kata ‘belajar bersama masyarakat’ yang benar. Melainkan, ingin
berbagi cerita tentang pengorganisasian masyarakat dalam Program belajar
Kadarkim yang pada prosesnya menggunakan Pengalaman Terlibat sebagai motor penggerak untuk melakukan ‘Pembelajaran Bersama Masyarakat’. Pengalaman selalu berhasil melahirkan penyegaran makna, menampilkan sisi lain dari pengetahuan yang sudah kita dapat. Bak pisau bermata dua, pengetahuan dan pemahaman selalu berjalan beriringan. Pengetahuan dapat kita dapat lewat akal pikiran, dan pemahaman kita temui lewat pengalaman.

Hal yang paling utama dalam Pengorganisasian Masyarakat adalah perkenalan, mengenali kehidupan orang-orang setempat, bagaimana cara mereka menjalani kehidupannya? Dan bagaimana cara mereka memandang sesuatu yang hadir pada kehidupannya?

Pada proses awal, saya menemani
Angga (seorang tim fasilitator wangsakerta) mengajak ibu-ibu mengagendakan pertemuan untuk belajar menanam dipekarangan. Hingga akhirnya terbentuk menjadi 4 kelompok, 2 kelompok di Dusun Karangdawa, dan dua kelompok
lainnya di Kedung Krisik Selatan. Dari semua kelompok itu sebagian sudah pernah mengalami belajar menanam dan ada juga yang belum. Dalam kontrak belajar ibu-ibu menyepakati untuk dilakukan pertemuan selama dua minggu sekali di hari weekend, dan mereka menyarankan untuk cepat dilakukan proses
praktik ‘menanam’ saja, karena mereka bosan jika hanya mendengarkan orang
bicara, memberikan materi-materi yang bagi kebiasaan hidupnya itu masih asing
atau sebaliknya.

Respond ibu-ibu untuk segera melakukan praktik menanam memberikan gambaran bahwa sebetulnya mereka gerah
dengan orang-orang yang hanya datang ke desa atau warga hanya sekedar membuat
ruang-ruang diskusi tapi minim upaya tindakan perubahan. Untuk mencapai
tindakan perubahan, tentu proses ‘Belajar Bersama Masyarakat’ bukanlah suatu
hal mudah, melainkan suatu proses panjang yang akan menguras tenaga, pikiran, dan sumberdaya bagi keduanya (pihak organiser dan yang diorganisir) untuk mencapai suatu tujuan bersama. Untuk melancarkan proses tersebut, komunikasi menjadi kunci untuk bisa saling percaya dan mengenali. 

Beranilah Untuk Mencoba

Satu kegagalan yang saya alami, adalah bahwa saya belum cukup percaya diri, terlalu banyak berprasangka buruk tentang tidak boleh salah, atau pikiran-pikiran negatif ‘apakah yang saya lakukan ini benar atau salah? Merepotkan atau tidak?’ Tapi, pengalaman kali ini merombak konstruk yang tertanam dalam pikiran saya. Ini merupakan pengalaman pertama saya melakukan pengorganisasian masyarakat. Meski dibeberapa pengalaman lain yang juga bergaya Pengabdian Kepada Masyarakat sudah saya alami di perkuliahan, contohnya semasa
KKN tapi hal itu sangat kurang memberikan sumbangsih atau gambaran mengenai
bagaimana ‘Belajar Bersama Masyarakat’ itu dilakukan dan dijalankan.

Dalam pikiran saya bahwa proses
Pengorganisasian Masyarakat sama dengan hanya memberi pelatihan, atau
memberikan ide-ide atau kegiatan baru yang menarik dan dapat mengundang banyak massa. Meski sebetulnya, kata ‘Pengorganisiran’ sudah sering saya dengar
ditelinga. Namun,  ternyata
bukan hanya itu! pengorganisasian menuntut kita untuk melakukan tindakan! cara kita mengiris pengalaman mereka, tentang apa yang mereka alami? Mengapa itu terjadi dan bagaimana cara menyelesaikannya? 

Untuk sampai kesana, maka sejauh
mana upaya kita mengenal kehidupan yang dialami mereka. Selama masih mengandalkan orang lain (Tim organiser lainnya), kita tak akan seutuhnya
tahu bagaimana teman baru ini tumbuh dalam kehidupannya. Selama proses
pembelajaran, saya merasakan hal itu terjadi pada saya, kurang percaya diri
membuat suatu keadaan ke-berjarakan antara saya dan mereka (ibu-ibu). Namun,
dalam proses demikian, Bu Ida selaku mentor memberikan bimbingan dengan
mengatakan “Dalam proses pembelajaran,
selalu ada yang pertama kali”.

Perkataan yang saya pahami bahwa
itu bukanlah suatu masalah, melainkan memberikan kita kebebasan untuk melakukan kesalahan, dan terus mencobanya lagi. Suatu pembelajaran demikian juga saya dapatkan dari Angga. Selama proses pengorganisasian, hampir tiap hari ia mengunjungi rumah warga untuk sekedar silaturahmi dan bertanya. Terkadang saya juga ikut menemaninya,karena perasaan malu dan tidak percaya diri saya masih besar, yang mungkin saya lakukan saat itu adalah melihat dan mendengar apa yang
dilakukan angga, kemudian sesekali memintanya untuk berbagi pengalaman. Saya akui, dia memang sangat percaya diri!

Suatu hari, saya pernah memberanikan
diri untuk menumpang mandi di rumah salah satu ibu-ibu Kadarkim karena di saung (tempat kami tinggal) mengalami kekeringan. Sehabis mandi, saya duduk sebentar sambil melihat tanaman sayuran yang ditanam dipelataran rumahnya. Tiba-tiba saja, ibu ini bercerita, “dulu sebelum ada Pamsimas, disini juga mengalami kekeringan, bahkan sering terjadi keributan karena berebut air.” “lah teruss, bagaimana cara menyelesaikan masalah itu ?”, ujar saya. “ya, itu kami dan warga lain melakukan pemetaan dibantu wangsakerta. Mendata ada berapa sumur
di dusun ini? kondisinya seperti apa? dan milik siapa?, setelah itu melakukan kajian dan mengajukan untuk dibangun pamsimas” balas sang ibu.

Itu merupakan suatu penggalan cerita yang saya alami saat menumpang mandi. Di situasi yang sama (saat saung tidak ada air), di rumah warga lainnya, informasi lain juga muncul tentang apa sumber air bersih yang mereka gunakan, bagaimana kondisinya dan mengapa mereka
menggunakan itu. 

Namun, bukan cara menumpang mandinya. Melainkan, upaya memberanikan diri untuk mencoba tersebut. Nyatanya setelah itu, beragam prasangka dan asumsi buruk yang membuat kita tak percaya
diri tersebut tak ada. Bahkan diaktivitas demikian (mengunjungi rumah warga),
itu adalah salah satu cara kita untuk mengenal kehidupan yang mereka alami dan jalani. Terlebih, kisah tentang bagaimana menyelasaikan masalah air yang dialami mereka tersebut mengajarkan saya bahwa untuk mencapai suatu tujuan
tersebut kita perlu berusaha sekeras mungkin melawan prasangka-prasangka buruk dan mencoba untuk mulai mewujudkannya.

Upaya Mencapai Tujuan Bersama

Dalam pengorganisasian masyarakat, masyarakat yang didampingi, pendamping, dan semua orang yang terlibat ada di proses yang sama, yaitu saling belajar. Itu fakta yang saya temukan dalam proses pembelajaran Kadarkim ini. Selama hidup saya, ini pertama kali saya berada dalam situasi pendidikan semacam ini. Semua yang terlibat sama-sama belajar memahami dan berupaya menyelesaikan masalah yang terjadi pada kehidupannya. Apa yang selama ini dianggap sebagai nasib dan takdir, misal anggapan tentang “ahh, saya mah orang ga sekolah, ga pantes untuk ngomong didepan umum” atau “ya wis, dari sananya sudah begini, orang ga punya, gimana mau sukses” atau pernyataan-pernyataan pasrah lainnya ternyata itu hanya ketakutan-ketakutan belaka. Buktinya, bisa kok pelan-pelan belajar mewujudkan satu persatu rencana dan tujuan kita.

Saya mengikuti, diawal pembelajaran
kita sama-sama belajar menghitung pengeluaran rumah tangga dalam hal pangan. dan mengambil rata-rata dalam satu keluarga total pembelanjaan pangan perhari mencapai 100 ribu. Kemudian mencoba menghubungkan berapa total perminggu, perbulan, dan pertahun, lantas bagaimana jika jumlah tersebut dikalikan dengan jumlah jiwa satu desa. Betapa besarnya, bukan? Tapi, seperti apa jika dibalik, kita mampu mengurangi satu hal saja, misal sayuran yang dapat ditanam sendiri, berapa uang yang dapat disisakan dalam setahun?

Atau ketika selang beberapa bulan
ibu-ibu mulai membuktikan sendiri bahwa sayuran bisa ditanam dan dipanen dari pekarangan rumah. Merawatnya dengan belajar membuat pupuk organik dari hasil pengolahan sisa sampah organik rumah tangga dan kotoran hewan, meski sebelumnya sempat dibayang-bayangi asumsi bahwa bertani harus dilahan yang luas, dan ancaman gagal panen akibat dirusak oleh ayam tetangga yang berkeliaran. Sampai mungkin
perasaan jijik yang hadir menyelimuti saat pembuatan pupuk kompos dari kotoran
kambing. “Selalu ada yang pertama kali”,
pengalaman dan tindakan selalu mampu memberi ruang untuk dapat saling belajar.

Dari mulai menanam berlanjut ke
pengolahan sampah, dari mulai satu kelompok berkembang ke beberapa kelompok, dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru, dan seterusnya. Semangat yang ditularkan ibu-ibu dan pendamping ini memberikan pandangan baru tentang dan bagaimana upaya mencapai tujuan bersama itu dilakukan. Tak jarang, bahkan dalam serangkaian proses pertemuan belajar terdapat ibu-ibu yang sedang hamil, sambil membawa anak, atau baru saja menyelesaikan tugas rumah tangganya.

Tindakan Perubahan dimulai dari
kerja-kerja yang dilakukan bersama-sama dan berlanjut, untuk menciptakan
kampung yang bersih dan sehat  ibu-ibu
membuat agenda kerja bakti bersama secara bergilir, dari satu Rt ke Rt lain.
Selepas itu membuat agenda dialog dengan elemen pemerintah desa untuk
diadakannya Tempat Pembuangan Sementara (TPS), mendiskusikan sistem pengelolaan sampahnya dan masalah lainnya secara bersama. Tanpa sungkan-sungkan ibu-ibu yang sudah mengikuti proses pembelajaran juga mengajak tetangga-tetangga lain untuk sama-sama mewujudkan tujuan bersama dan memberikan harapan terjadinya
kehidupan yang lebih baik.[]



Bagikan

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru