Peta Jalan Swasembada Bawang Putih Indonesia, Arahnya Ke Mana?
Bawang putih merupakan salah satu bahan pangan penting dalam kehidupan sehari-hari. Hampir segala jenis makanan berat yang tersaji di meja makan kita, bukankah tidak terlepas dari campuran bawang putih? tanpa campuran bawang putih sebagai kondimen disetiap jenis olahan masakan yang kita makan, mungkin akan terasa kurang nikmat.
Semua orang dari segala bangsa, negara, ras, dan latar belakang kehidupan yang berbeda, mengkonsumsi bawang putih sebagai campuran olahan masakan. Selain untuk olahan masakan, bawang putih juga dapat dikonsumsi untuk obat-obatan,seperti untuk menurunkan tekanan darah tinggi cukup hanya dengan mengunyah 1-2 butir bawang putih mentah setiap harinya.
Mengapa hampir semua orang dapat menggunakan bawang putih sebagai bahan masakannya?tentunya hal tersebut tidak terlepas dari cita rasa yang dihasilkan bawang putih,dimana bawang putih membuat cita rasa masakan menjadi lebih harum,nikmat dan berkarakter ketika menyentuh lidah.
Bawang putih sangat mudah dikawinkan dengan jenis makanan apapun,sebab itulah ia diburu banyak orang sebagai komoditas pangan penting di dunia. Lalu, bagaimana kondisi lalu-lintas perdagangan bawang putih di Indonesia sendiri ya?nah pertanyaan ini akan mengantarkan kita melihat secara saksama bagaimana sih kondisi bawang putih di negara tercinta kita ini.
Hal pertama yang perlu kita ketahui yaitu perihal berapa sih konsumsi bawang putih nasional? Konsumsi bawang putih nasional sendiri dari tahun 2017-2021 diatas 500 ribu ton dan untuk tahun ini mencapai 508,35 ribu ton, menurut sumber yang dilansir dalam laman berita www.Katadata.co.id. Angka yang sangat luar biasa banyak bukan?
Kegagalan Swasembada Bawang Putih
Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan impor bawang putih. Dimana impor bawang putih ini sendiri mempunyai nilai tertinggi dalam subsektor hortikultura. Kegiatan impor ini juga menjadi lebih masif tatkala munculnya kebijakan terkait penghapusan tarif impor atau bea masuk pada keputusan Menteri Keuangan nomor 355/KMK.01/2004. Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam Rangka Early Harvest Package (EHP) Asean-China Free Trade Area (AFTA). Dari kebijakan tersebut, negeri ini secara gamblang memuluskan jalan para importir dan secara tidak langsung menyebabkan penurunan produksi bawang putih dalam negeri sebab harus saling sikut masalah harga.
Lantas, negara mana sajakah yang mengimpor bawang putih ke negeri ini? Menurut sumber yang sama dilansir pada laman berita www.katadata.co., Negara yang bercokol dipuncak teratas dalam mengimpor bawang putih adalah Cina dengan presentase 90%, kemudian disusul oleh India dengan presentase 5% dan 2% dari negara Asia lainnya. Kemudian kemanakah angka 3% dari presentase diatas? Yappsss, betul sekali 3% tersebut berasal dari negara kita sendiri.
Dari presentase diatas mungkin bisa disimpulkan bahwa dibalik jubah kebesaran Indonesia sebagai negara agraris justru belum bisa memenuhi kebutuhannya secara penuh atau bahkan setengahnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi,apakah karena bawang putih tidak cocok dibudidayakan di Indonesia?
Menurut Kementerian Pertanian, bawang putih atau bernama latin Allium Sativum L bisa tumbuh diketinggian 600 mdpl (meter diatas permukaan laut) dengan suhu harian 15-20 derajat celcius curah hujan 100-200 mm/bulan,intensitas matahari yang cukup, kelembapan udara 60-80%, dan Ph tanah 6,5-7,5. Masa panen bawang putih sendiri selama 4 bulan setelah ditanam serta waktu yang tepat untuk menanamnya yaitu antara bulan Mei sampai dengan Juli. Tentunya dari syarat-syarat tersebut Indonesia sudah memenuhinya, kemudian daerah mana sajakah yang memproduksi bawang putih?
Dari total 38 provinsi yang ada di Indonesia tercatat pada tahun 2021 ada 10 provinsi yang memproduksi bawang putih, yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Sumatra Barat, Bali, Jawa Barat, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tengah. Dari kesepuluh provinsi tersebut hanya menghasilkan 44.677 ton. Kemudian muncul kembali pertanyaan, bagaimana cara pemerintah dalam menanggulangi masalah ini selain bersandar pada importir?
Guna meningkatkan produksi bawang putih di setiap daerah dan memenuhi kebutuhan domestik, pemerintah menargetkan program swasembada bawang putih pada tahun 2016, jika kita melihat secara historis negeri ini sebenarnya sudah pernah mencapai swasembada bawang putih pada tahun 1994-1995, pada saat itu pula produksi bawang putih mencapai 152 ribu ton dengan luas tanam 21 ribu hektare (diolah dari sumber di laman www.katadata.co). Namun swasembada tersebut hanya berlangsung 3-4 tahun, hal tersebut terjadi sebab modal sosial masif para petani hancur dikarenakan Indonesia menjadi pasien Dana Moneter Internasional pada tahun 1997-1998.
Dalam rangka mendukung program swasembada bawang putih pemerintah menerapkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 38/Permentan/HR.060/11/2017 Tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Kebijakan ini menjadi dasar bagi para importir untuk mengembangkan komoditas bawang putih domestik.
Strategi yang dilakukan pemerintah dalam swasembada bawang putih yaitu menyiapkan bibit pada tahun 2019 dengan target tanam seluas 30 ribu hektare, sebab 70-80% keberhasilan budidaya ditentukan oleh kualitas dan kuantitas bibit, hasil tanam tersebut semuanya dijadikan bibit. Kemudian pada tahun 2020 target tanam dinaikkan menjadi 90 ribu hektare, hasil tanam ini juga dijadikan bibit kembali untuk di tanam pada tahun 2021. Lantas, apakah hasil panen 2021 ini sudah memenuhi kebutuhan bawang putih nasional?
Tentu saja sudah jelas jawabannya belum mencukupi seperti apa yang sudah disampaikan diatas. Pada akhirnya target swasembada tersebut hanya sekadar menjadi program kerja yang terlaksana tanpa adanya output dan dampak yang nyata.
Salah satu hambatan budidaya bawang putih ialah ketidakjelasan insentif ekonomi dan ketatnya persaingan harga di pasar. Tentu saja petani sebagai makhluk rasional, mereka akan lebih memilih menanam tanaman yang lebih pasti jaminan pasarnya. Hal inilah yang membuat sulitnya mendorong para petani untuk menanam bawang putih.
Apalagi untuk sekarang dengan adanya UU Cipta Kerja yang berpotensi merebut lahan yang dikelola oleh petani, bahkan jika sebelumnya lahan beririgasi dikecualikan dari konversi,lewat UU Cipta Kerja bisa dikonversi untuk proyek strategis nasional atau kepentingan umum. Oleh karena itu seyogyanya dilevel usaha tani harus dibuat lagi kebijakan yang membangunkan kembali semangat petani untuk menanam bawang putih dan tanaman hortikultura lainnya yang masih mengandalkan impor. Selain subsidi dan kemudahan akses modal, penetapan jaminan harga dasar juga diharapkan menjadi jaring pelindung kerugian bagi petani.
Jika keuntungan menanam bawang putih kalah dari komoditas lain, akan sulit mengajak secara komunal para petani menanam komoditas ini. Persoalan jaminan keuntungan dengan pengaturan harga memang bukan domain Kementerian Pertanian namun Kementerian Perdagangan. Karena itulah, idealnya target swasembada bawang putih bukan target satu kementerian. Tapi jadi target pemerintah pusat. Dengan begitu, semua Kementerian atau lembaga saling bersinergi untuk mencapainya. Bukan saling menjegal dan saling melempar tanggung jawab.
Satu hal lagi yang perlu digaris bawahi terlibatnya Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas, mungkin dilatarbelakangi oleh ketakutan pada dampak trade diversion. Namun, trade diversion hanya berlaku terhadap dua negara atau lebih yang memiliki produk yang sama dengan tujuan pasar yang sama. Sedangkan Indonesia tentunya memiliki produk yang berbeda dengan target pasar yang berbeda pula, dengan kata lain Indoesia tidak mesti ketakutan kehilangan pasar ekspor justru negara ini menjadi target pasar dunia sebab masyarakat kita adalah masyarakat konsumtif dalam berbagai hal yang berbau impor[]