Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

Assesment Pengelolaan Sampah di Desa Pamengkang (ke-1)

catatan lapangan
Zikri Alvi Muharram
Cover Image for Assesment Pengelolaan Sampah di Desa Pamengkang (ke-1)

Hari ke 1, Sabtu, 28 Desember 2025

Pagi itu, sekitar pukul 08.30, aku berangkat dari kosan menuju Saung Wangsakerta. Jarak tempuh ke saung sekitar 15 menit dari kosan. Sengaja aku berangkat lebih awal, karena takut ketinggalan sesi pembekalan. 

Sampai di Saung sekitar pukul 08.50. Tidak sesuai ekspektasiku, aku pikir sudah banyak peserta yang datang. Sampai jam menunjukkan 09.30 peserta masih aku sendiri. 

Untuk memastikan jadi atau enggaknya kegiatan pelatihan plotting & pengambilan data ini, aku bertanya kepada salah satu fasilitator Sekolah Alam Wangsakerta. Katanya, jadi, karena ada relawan atau tidak,  plotting & pengambilan data harus segera dilakukan. Sedikit lega mendengarnya. 

Dirasa tidak ada relawan lagi yang datang, pelatihanpun dimulai. Saat itu, relawan dari luar hanya saya sendiri. Saya ditemani salah satu warga belajar Wangsakerta, Jenny. Dan pelatihan tersebut difasilitasi oleh Hamid. 

Tanpa basa-basi peserta langsung disuruh untuk mengunduh Avenza Maps. Alat yang nantinya digunakan untuk memudahkan pendataan di lapangan. Cara kerjanya cukup mudah, mirip-mirip dengan pendataan sensus. Kami sebagai peserta pun langsung paham. Tanpa memakan waktu lama pelatihan plotting (penitikan) dan pengambilan data selesai. Fasilitator pelatihan, Hamid, saat itu menelpon seseorang yang ternyata adalah Pak RT. Setelah menutup telepon, Hamid mengajakku untuk menemui Pak RT tempat yang nantinya menjadi lokasi pendataan. 

Memulai pendataan

zikri1.jpg

Kami berangkat hanya berdua, aku dan Hamid. Karena Jenny ada urusan lain. Lokasi pengambilan data nanti adalah di blok Pon atau RW 05 Desa Pamengkang, Mundu, Kab. Cirebon. Jaraknya hanya 10 menit dari Saung Wangsakerta, Karangadawa. Singkat cerita, kami sampai di rumah ketua RT 03 RW 05, Said namanya. Ia dipercayai Ketua RW untuk mengelola program pengangkutan sampah, nantinya. Mengapa?  Ternyata, Ia bekerja sebagai tukang pengangkut sampah di salah satu perumahan.

Pak Said bercerita bahwa Ia hanya bekerja 2 kali dalam seminggu, mendapat upah Rp. 600.000/bulan. "Gaji segitu kecil", katanya. Untuk tambah-tambah, Ia mengakalinya dengan memilah sampah-sampah yang bisa dijual seperti gelas plastik, botol plastik, kaleng dan lain-lain. Ia bekerjasama dengan satpam perumahan. Mereka bisa menghasilkan Rp. 2000.000/bulan dibagi ke 4 orang. 

Selain ke pengepul rongsokan. Kadang, Ia menjualnya ke pengrajin sampah plastik. Kerap Ia disuruh mengumpulkan sedotan bekas oleh pengrajin. Sedotan tersebut dijadikan kerajinan tangan berupa pernak-pernik hiasan. Pengrajin tersebut juga mengubah galon bekas menjadi pot dan bungkus kopi sachet menjadi tas. Setiap itemnya dihargai Rp.5000/kg.

Sisa sampah yang tidak bisa dijual, ia angkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) menggunakan gotrok atau gerobak sampah yang ditarik dengan sepeda motor. Yang kubayangkan, gotrok tersebut diangkut oleh dua orang: seorang mengemudi motor, satunya memegang gotrok. Bayanganku dipatahkan ketika melihat bapak-bapak bawa gotrok sendiri.

Caranya stang gotrok disandarkan dipunggung jok, lalu ditindih oleh pengemudinya. Jadi, hanya ditangani
oleh satu orang. “Cuma resikonya ya sakit pinggang”, kata Pak RT. “Apalagi kalau musim hujan rata-rata sampah akan basah dan menambah beratnya”. Setiap gotrok yang masuk ke TPA harus membayar Rp. 5000,-/satu kali angkut. Biaya tersebut untuk membayar jasa pembongkar muatan sampah.

Kata pak RT, mereka ini orang-orang yang kuat imunnya. Pernah, ia melihat mereka makan tanpa cuci tangan. Tangan bekas mengorek sampah yang bercampur belatung mereka gunakan untuk menyuap makanan ke mulut. 

Selain mengangkut sampah di perumahan, Ia juga mengangkut sampah di lingkup RT yang dikepalainya. Itu pun, hanya 4 orang saja. Warga yang sampahnya diangkut Pak RT ditarik Rp. 15.000/bulan untuk biaya operasional dan kerusakan gotrok. Dari 4 itu ada warga yang memiliki warung, Ia mematok tarif sebesar Rp. 20.000 dengan alasan punya usaha. 

Pengangkatan sampah di warga disesuaikan dengan jadwal pengangkutan sampah di perumahan. Karena warga yang sampahnya diangkut Pak RT hanya sedikit. Jadi disatukan dengan perumahan. Kok hanya 4 rumah saja? Ini karenakan sebagian sampah warganya sudah diangkut oleh RW lain. Pak RT Said baru beberapa waktu ini melakukan pengangkutan sampah di wilayah RTnya. Selain itu, ada juga yang membakar sampahnya di pekarangan rumahnya, jadi tidak memerlukan pengangkutan

Sampah di Irigasi

Yang paling parah ada warga yang membuang sampah ke ledeng atau irigasi. Sampah dari rumah sambil lewat dibuang ke irigasi, bahkan ada yang membuang langsung ke sungai yang mengalir. 

Kata seorang warga yang saya temui, irigasi tersebut, tadinya digunakan untuk pengairan pertanian. Sekarang banyak sawah yang alih fungsi lahan menjadi perumahan, jadi irigasi tersebut tidak berfungsi. Jadilah irigasi ini menjadi sasaran empuk untuk membuang sampah. Gratis tanpa bayar sepeserpun.

Ada juga yang sedikit bertanggungjawab dengan membakarnya. Biasanya, warga membakar sampah diirigasi bergantian. Maka dari itu, program pengelolaan sampah dan menanam ini rencananya termasuk untuk menanggulangi masalah di atas. 

Tempat Pengolahan Sampah Sementara

dzikri4.jpg

Baru saja pendataan belum mulai programnya sudah muncul masalah. Soal lahan tempat pembuangan sampah (TPS) yang sempat mendapat kontra dari beberapa warga. Warga menolak karena khawatir dengn bau yang ditimbulkan tumpukan sampah. Letak TPS yang sudah dibangun oleh Pemdes  ini terletak di lahan dekat pemakaman dan tidak terlalu jauh dari pemukiman. Warga khawatir baunya  mengganggu peziarah karena lokasinya persis dekat pemakaman dan bisa mengotori pemakaman. 

Akhirnya, Pak RT konsultasi kembali ke Pak Kuwu soal lahan yang nantinya diperuntukkan TPS. Hasilnya, TPS ini akan dibangun di tanah milik Desa yang letaknya dekat dengan sekolah. Pak Kuwu mewanti jika TPS dekat sekolah pasti akan dapat penolakan dari pihak sekolah. "ya pak. Pemdes lebih punya otoritas soal lahan tersebut", ungkap pak RT menyatakan persetujuan atas pernyataan pak Kuwu. 

Masalah lain yang juga dibahas adalah tentang orang yang akan mengelola program pengelolaan sampah ini. Kami sempat usul bagaimana kalau pemuda saja. “Pemuda-pemuda di sini gak bakal mau ngurusin sampah, mending ngerongsok”, katanya. “lebih baik nanti, mengajak, ngajak orang tua yang nganggur”, kata pak Kuwu.

Perihal iuran pengangguran sampah ini juga masih menjadi perdebatan. Apakah tarifnya Rp.15.000/bulan atau menjadi Rp.20.000/per bulan. Lalu, yang memiliki usaha seperti warung rencanya akan ditarif Rp.35.000/bulan. Untuk hal ini belum ada keputusan final.[]



Bagikan

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2025 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru