Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

Pengalaman Belajar Hamid (Bagian 1)

Catatan Lapangan
Haminudin Aqillun
Cover Image for Pengalaman Belajar Hamid (Bagian 1)

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengalaman bisa diperoleh dari banyak hal. Bisa dari mengalami sendiri, bisa dari mendengar pengalaman-pengalaman orang lain, dst. Yang menjadi permasalahan, ketika tidak merefleksikan pengalaman itu, apakah pengalaman-pengalaman tersebut nantinya bakal berguna? Atau malah akan menjadi semacam gudang pengalaman yang semakin banyak, menumpuk, dan diceritakan kepada orang lain saja tanpa direfleksikan?

Sudah 23 tahun umurku, namun belum sekalipun mengenal alam yang kupijak. Pengetahuan yang kuperoleh selama ini rasanya semakin menjauhkanku dari permasalahan yang ada dilingkunganku sendiri. Keresahanku semakin menjadi-jadi ketika aku duduk di bangku perkuliahan. Semua yang kupelajari masuk kuping kanan keluar kuping kiri, selalu begitu. akibatnya, keselarasan dan kesesuaian pikiran dan tindakan akhirnya timpang atau berat sebelah. Hal itu seolah membuatku mengawang-awang, terlalu melangit sampai lupa untuk membumi.

Lalu bagaimana upaya mendekatkan diri pada alam yang kupijak ini? Tentu tak hanya keindahannya saja, melainkan juga ikut berkecimpung dan berpartisipasi terhadap permasalahan alam, khususnya di lingkungan sendiri. Pertanyaan lanjutannya kemudian, siapa tumpuan utama untuk menjaga lingkungannya sendiri? anak muda? Orang tua? Atau keputusan kepala desakah? 

Terpengaruh dari tontonan di youtube yang isi kontennya meneliti 3 sungai terpanjang di Jawa: sungai Brantas di Jawa Timur, sungai Bengawan Solo di Jawa Tengah, dan sungai Citarum di Jawa Barat. Disitu aku mendapat informasi bahwa ketiga sungai yang masih digunakan oleh sebagian penduduk, semuanya tercemar microplastik dan limbah dari pabrik-pabrik besar yang ada di sekitaran sungai. Dari situ aku mulai tertarik pada pembuangan, pengelolaan, dan pemanfaatan sampah.

keinginanku itu diperkuat oleh ajakan temanku untuk mengolah sampah kulit buah untuk membuat eco enzyme. Untuk membuat itu, diperlukan pencarian kulit buah yang lumayan banyak di pasar yang jaraknya lumayan jauh dari tempat temanku. Kemudian bahan-bahan yang diperlukan selain kulit buah yaitu molase dan air dengan perbandingan 1:3:10 (1% molase, 3% kulit buah, 10% air). Lalu di lain hari aku juga baru merasakan yang namanya berkebun. Disana, walaupun hanya ada beberapa bedengan singkong saja, namun baru sebentar aku menghajar rumput-rumput disekitarnya, aku ngos-ngosan.

Dari pemanfaatan sampah kulit buah tadi—seperti yang aku lihat di youtube juga—akhirnya bisa bermanfaat terhadap tanaman. Aku yang belum mengenal tanaman ketika itu hanya ber-ohh saja dengan kening yang mengkerut dan kepala yang mengangguk-angguk sendiri. Karena 2 tujuan tadi (sampah dan tanaman) itulah aku ingin belajar di Wangsakerta. 

Di Wangsakerta, aku banyak menemukan berbagai hal yang tak pernah ku lakukan sebelumnya. Salah satunya adalah berternak. Ada kambing, ayam, bebeknya Angga, angsa, dan kelincinya Muis yang sakit-sakitan. Beberapa minggu ini aku membantu Angga membersihkan kandang, setelah bersih, lalu di alasi sekam untuk menjaga bebek-bebek tetap hangat. Karena sekarang sedang musim hujan, suhu tanah pun sering turun menjadi dingin, ditambah angin yang tidak mau berkompromi, bagaimana menjaga para bebek tetap hangat? Salah satunya dengan sekam tadi.. Karena bebek adalah hewan yang rentan, maka penjagaannya pun harus benar-benar. Sebab selama disini, yang paling banyak mati dan hilang adalah Bebek yang kebanyakan disebabkan oleh faktor eksternal. Cuaca, kebersihan kandang, pakan yang cukup banyak, dan pencuri yang bernama garangan. Selain membersihkan kandang, aku ikut pula memberi makan hewan-hewan lainnya setiap pagi dan sore. Khusus kambing, kalau di siang hari ia mengembik-embik melulu, maka mau tak mau aku membantu mengenyahkan rasa kelaparan yang dideritanya dengan mencari pakcong atau rumput-rumput liar. Oh iya, sejak hari Senin kemarin, aku juga mencari sayur-sayuran bekas di pasar untuk campuran pakan buat entog, bebek, ayam, dan angsa. Lalu kenapa mesti dicampur dengan sayuran bekas? Karena bebek makannya banyak, maka porsi dedek yang dikeluarkan pun cukup banyak. Dan uang yang dikeluarkan pun tak main-main. Misal harga perkilonya 3.500, lalu dikalikan 40 (ukuran karung), maka hasilnya 140 ribu. 140 ribu atau sekarung dedek tadi hanya cukup untuk makan selama 3 hari saja. Jika hal itu dilakukan selama sebulan, tinggal hitung 140 dikali 10, hasilnya mencapai angka 1 juta empat ratus ribu rupiah. Berarti jika ditotal selama setahun, biaya yang dikeluarkan untuk unggas menembus angka 16 juta 800 ribu rupiah. Karena biaya yang terlalu besar itulah, perlu adanya ekspedisi mencari sayuran bekas untuk meminimalisir biaya pakan.

Beberapa hari yang lalu, Tomi dan Rifki (peserta Ngenger di Wangsakerta) menyanyikan lagunya Jaja Mihardja yang berjudul Demi Nyai. Biasanya, dalam menyanyikan lagu, hanya orang-orang dengan kualitas suara yang bagus saja yang boleh menembangkan, tentu dengan kesepakatan bersama, tujuannya jelas, yaitu ketentraman bersama. Namun di Wangsakerta tidak seperti itu, siapapun bebas dan berhak menembangkan lagu kesayangannya asal tahu waktu. Hal ini merupakan kesempatanku untuk unjuk gigi. Karena aku terbiasa yakin  bahwa suaraku yang dibawah standar ini akan melukai ketentraman orang lain, maka ketika ada aktivitas karaoke seperti ini, aku menjadi garda terdepan untuk menyuarakan suaraku. Dalam lagunya Jaja Mihardja tadi, seseorang yang mencintai akan memberikan apapun, bahkan nyawanya sekalipun demi seseorang yang sangat dicintainya, yaitu Nyai. Lagu tersebut juga mengiringi langkahku kepada salah satu makhluk yang juga kusayangi ketika ku berdiam disini, ia bernama Ato, seekor kambing jantan yang kesepian didalam kandangnya karena tak mempunyai teman. Semakin lama aku berkenalan, rasanya semakin memahami pula bahasa yang diucapkan oleh Ato. Walaupun hanya dengan mengembik, aku lekas paham apa yang diinginkan olehnya, bahwa waktu makan telah tiba. Pada koordinat 52 derajat Timur Laut dari tempatku duduk, tepat di belakang kamar Ati dan Dion (penghuni sekaligus peserta Ngenger di Wangsakerta) ada begitu banyak tanaman pakcong yang di khususkan dan disediakan untuk Ato. Kebetulan pada hari itu panen pakcong dan awalnya aku ditugaskan untuk membabat batang tanaman yang mirip seperti tebu itu. Setelah dirasa cukup, lalu mlipir ke bagian pemotongan batang dengan ukuran tertentu untuk ditanam kembali. Daun dari Pakcong sendiri digiling menggunakan mesin coper (begitulah penyebutannya) dan kemudian di keringkan di ruangan pengering,—omong-omong tentang ruang pengering, Wangsakerta mempunyai 2 ruangan pengering. Satu untuk tanaman (kondisi ruangan tersebut sayangnya sudah bolong disana-sini), akibatnya, tanaman yang mestinya cepat kering, malah semakin lama. Selain itu air hujan juga turut jadi penyebab. Sedangkan ruang satunya lagi khusus untuk pembuatan tepung dari hewan-hewan laut—setelah Pakcong kering, tahap selanjutnya akan berakhir di perut Ato. Hari itu berakhir di saat adzan Maghrib berkumandang dan gatal-gatal yang disebabkan Pakcong.

Beberapa hari setelahnya, aku dan teman-teman saung beramai-ramai melakukan pencarian makhluk Sambiloto, Tempuyung, dan Tapak Liman di danau Setu Patok yang terletak di kecamatan Mundu dengan menunggangi motor. Jarak dari saung ke danau, hitungan ngawurnya kira-kira 600 meteran. Untuk orang yang semasa kecilnya dihabiskan di pesantren, bisa dibilang aku tidak pernah melakukan pencarian yang mirip-mirip seperti dalam acara tv Si Bolang. sesampainya disana, awalnya aku agak kesulitan mengidentifikasi tanaman-tanaman yang belum pernah kudengar itu. Namun setelah menanyakan dan mengkonfirmasi, aku mulai paham dengan apa yang kucari, yaitu Tempuyung dan Tapak Liman. Berbeda dengan pencarian makhluk Sambiloto, aku memakai metode ngarasakke dewe, metode ini harus ku akui memang ampuh jika digunakan untuk mengidentifikasi Sambiloto, prosesnya juga mudah, yaitu tinggal dipetik terlebih dahulu daunnya, lalu dimakan dan dirasakan. Jika pahit, artinya validitas dan kesahihan Sambiloto terbukti. Tiga makhluk tadi sebenarnya bukan hanya untuk iseng-iseng saja, namun dijual untuk umum. Sebelum dijual, proses pembuatannya juga harus melalui ruang pengering yang aku ceritakan tadi, setelah itu digiling juga menggunakan mesin khusus yang hasil akhirnya menjadi bubuk herbal.

 Selain tanaman dan ternak, aku juga memperoleh asupan dan konsumsi literasi. Sebagai fasilitator, Wangsakerta memberi jalan kepada para pelajar untuk turun langsung ke masyarakat. Tidak sekedar berdiskusi saja—seperti kampus-kampus pada umumnya--tapi juga harus mengetahui dan membantu secara langsung kegiatan di masyarakat. Yang berkesan dan yang kumengerti selama pelajar Kebon Jambu berkunjung yaitu ketika game Meraih Impian atau miniatur di masyarakat. Di game tersebut sumberdaya yang ada diharuskan untuk mengambil kertas dengan tidak boleh melewati garis yang dibuat. Peraturannya sederhana, bagaimanakan caranya agar semuanya ikut andil dalam mengambil kertas tanpa memakai alat apapun. Artinya, untuk mencapai tujuan bersama diperlukan adanya pemimpin yang tugasnya mengatur. Perannya sangat vital, sebab kalau tidak ada pemimpin, orang-orang ribut dengan caranya sendiri-sendiri, tak selesai-selesai, tak terkontrol. Sedangkan yang kuingat namun tak ku mengerti karena belum kualami banyak, diantaranya pemetaan, advokasi, diskusi mengenai pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire, buku Petani dan Penguasa buku Merdesa, dan lain sebagainya.

Secara literasi, aku baru memperoleh sedikit pelajaran. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya aku berkomunikasi. Karena aku sudah terbiasa tidak melakukan pencarian dan keputusan  dengan keinginan sendiri, itu yang membuatku agak sulit untuk menyerap pelajaran.

Sekian

*) Penulis adalah mahasiswa prodi Akidah Filsafar Isalam IAIN SNJ semster 6 yang juga bergabung sebagai warga belajar Sekolah Alam Wangsakerta


Bagikan

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru