Konservasi Danau Sebagai Upaya Mengelola Kehidupan dan Penghidupan
Review Buku: Model Pengelolaan Danau, Sebuah Kajian Transdisipliner*
*Naskah ini telah disajikan sebagai bahan diskusi pada serial ‘Tadarus Konservasi’, yang dimulai sejak Maret 2023. Yayasan Wangsakerta memprakrasai sebuah serial diskusi rutin dengan tema konservasi sebagai satu unit wadah pengetahuan dan juga pengembangan perspektif keilmuan warga belajar di Sekolah Alam Wangsakerta dalam memperkuat kerja-kerja lapangan yang telah dan akan terus dilakukan untuk gerakan konservasi kawasan Danau Setupatok, Mundu-Cirebon.
***
Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat berlimpah di berbagai sektor, baik di daratan, maupun di perairannya. Salah satu dari sumber daya alam tersebut adalah danau. Kalau boleh tahu, apa sih yang teman-teman bayangkan pertama kali mengenai danau? Pemandangan yang bagus atau empat yang luas? Air yang tidak habis sepanjang musim? Lambang kejayaan? Sumber kehidupan? Atau malah teringat kenangan bersama seseorang? Itu baru satu danau.
Lalu, di negara yang sangat luas dan besar seperti Indonesia, ada berapa sih jumlah total danaunya?
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR), terdapat 911 danau di Indonesia pada 2019. Sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2017, Indonesia memiliki 840 danau, dengan total luas mencapai 7.103 km². Sementara itu, pada 2020, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merilis jumlah danau yang tersebar di seluruh Indonesia adalah 5.807 danau. Dari gambaran tersebut, kita melihat terdapat perbedaan data mengenai jumlah danau di tanah air kita yang didokumentasikan oleh masing-masing kementerian dan lembaga negara.
Kendati terdapat perbedaan yang kontras mengenai pencatatan danau oleh masing-masing lembaga negara, beberapa kondisi danau di Indonesia masuk dalam kategori kritis. Mengapa dapat disebut kategori kritis?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) mencatat bahwa pada 2018 terdapat 15 (lima belas) danau dalam kondisi kritis. Menurut kajian Kementerian LHK tersebut, kondisi kritis danau disebabkan oleh volume air dan kualitas perairan danau yang semakin menurun. Lebih lanjut lagi, menurunnya volume air danau disebabkan oleh sedimentasi. Sedangkan menurunnya kualitas perairan danau disebabkan oleh aktivitas daerah tangkapan air dan padatnya aktivitas ekonomi di sekitar danau. Praktisnya, baik volume air yang menurun, persoalan sedimentasi, atau masalah-masalah teknis yang berhubungan dengan rusaknya infrastruktur danau seperti bendungan, menunjukkan satu hal bahwa telah terjadi kerusakan ekosistem danau.
Salah satu dari kelima belas danau yang mengalami kondisi kritis karena kerusakan ekosistem di sekitarnya adalah Danau Limboto. Melalui buku yang berjudul “Model Pengelolaan Danau: Sebuah Kajian Transdisipliner”, yang ditulis oleh Hasim ini, Danau Limboto itu sendiri merupakan danau yang terbesar di Provinsi Gorontalo dan terletak di bagian tengah dari provinsi. Berdasarkan pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS), maka letak geografis Danau Limboto pada 122° 42’ 0,24’’ - 123° 03’ 1,17” BT dan 0,0° 33’ 0,35”- 0,0° 47’ 0,49” LU (halaman 36). Kedalaman Danau Limboto pada tahun 1932 yaitu 30 meter dan luasnya mencapai 8.000 ha. Sedangkan pada tahun 2007, kedalaman dan luasnya berkurang drastis menjadi 2,5 meter dan 2.537 ha (Halaman 5).
Salah satu hal yang berkontribusi terhadap kerusakan Danau Limboto adalah perikanan Keramba Jaring Apung atau disingkat KJA yang meningkat pesat. Jumlah KJA pada tahun 1993 adalah 500 unit, sementara pada tahun 2008 ialah 1962 unit. Sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan pada sistem KJA akan bertambah dan mengendap menjadi sumber hara penting bagi pertumbuhan tanaman air di danau Limboto seperti Eceng Gondok dan menyebabkan kondisi perairan menjadi keruh, kehijauan, dan nantinya membuat berbagai ekosistem di dalamnya mati karena kurangnya oksigen. Jumlah KJA yang meningkat pesat menjadi salah satu faktor pertumbuhan tanaman air yang lebih dari 15% dari luas permukaan dan menyulitkan pengelolaan perikanan pada tahun 1994 (halaman 5).
Budidaya perairan KJA memang punya daya tarik tersendiri sebagai pemasukan utama untuk ekonomi warga, tetapi penempatan dan pembatasan untuk KJA perlu diatur dan dikelola dengan tepat oleh pihak yang berwenang. Karena jika tidak ada pengelolaan mengenai hal tersebut, jumlah pembudidaya perairan KJA akan semakin tidak terkontrol. Semakin banyak pembudidaya, semakin banyak pula sisa pakan KJA yang menjadi unsur hara.
Selain dari sisa pakan KJA, ada juga limbah dari lahan pertanian yang turut menyumbang terjadinya pengikisan tanah atau erosi. Selanjutnya, pertumbuhan penduduk juga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, industri, dan lain-lain. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi itu berdampak pada penggunaan dan peralihan lahan hutan disekitar danau. Akibat dari peralihan lahan hutan tersebut menimbulkan erosi seperti penurunan kualitas tanah dan menurunnya fungsi perlindungan ekosistem danau (halaman 13-14).
Pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadi penyebab lain peralihan lahan di sekitar danau yang berfungsi melindungi Danau Limboto. Lalu, apakah tidak ada lahan yang tersedia untuk pemukiman penduduk di sana selain di lahan kawasan danau? Apakah tidak ada kebijakan yang mengatur itu? Lalu apa yang terjadi jika lahan di kawasan danau menjadi pemukiman penduduk, pertanian, serta industri?
Kerusakan ekosistem yang terjadi di danau Limboto akan memberikan dampak yang merambat dan kompleks pada masyarakat, di antaranya: (1) dampak aspek sosial ekonomi akan mengancam masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan yang jumlahnya 50% dari total penduduk pinggiran danau. (2) Menurunnya ketahanan pangan, karena rusaknya Danau Limboto akan menurunkan produksi ikan, sedangkan Danau Limboto merupakan satu-satunya sumber perikanan darat di Gorontalo. Selanjutnya kondisi tersebut akan memberikan dampak lanjutan terhadap potensi kekurangan gizi bagi masyarakat. (3) Menurunya fungsi danau sebagai reservoir/penadah hujan pada musim penghujan, sehingga menimbulkan banjir yang mengakibatkan kerugian material dan trauma bagi masyarakat sekitarnya. (4) Terganggunya keanekaragaman hayati mencakup gen, spesies dan ekosistem. Seperti yang disampaikan oleh masyarakat setempat bahwa beberapa ikan lokal populasinya mengalami penurunan drastis. Artinya jika dibiarkan maka akan menimbulkan kepunahannya (halaman 34).
Dampak pada masyarakat akan terjadi karena tidak terjaganya ekosistem sekitar danau dengan baik. Untuk meminimalisir hal itu, perlu adanya penataan kawasan yang mengelilingi Danau Limboto. Lalu, bagaimana gambaran penataan kawasan yang mengelilingi Danau Limboto tersebut?
Menurut arahan Pedoman Penentuan Peruntukan Kawasan Sekitar Danau bahwa arahan penataan ruang kawasan danau meliputi: daerah pesisir danau diutamakan sebagai daerah konservasi untuk menjaga fungsi danau. Untuk daerah penyangga diutamakan sebagai daerah pelestarian air dengan mempertahankan vegetasi asli, berupa daerah sekitar danau yang berjarak 15-50 meter dari titik pasang tertinggi. Untuk daerah perlindungan ditujukan untuk kelangsungan ekosistem danau, berupa daerah sekitar danau yang berjarak 50–100 meter dari pasang tertinggi (halaman 12).
Arahan tersebut menunjukkan bahwa penataan ruang kawasan danau menjadi faktor penting untuk menjaga fungsi danau. Selain itu, jika arahan tersebut diterapkan, maka ekosistem danau pun akan terjaga. Seperti yang diulas penulis buku ini pada halaman 99, “Kerusakan danau sebagai suatu sumber daya bukanlah proses yang terjadi secara kebetulan. Misalnya sedimentasi, tercemarnya air, serta pertumbuhan tanaman air yang tinggi di danau, merupakan fenomena yang terjadi di hilir permasalahan. Banyak hal yang menjadi latar belakang kerusakan lingkungan danau Limboto. Salah satunya ialah kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan merupakan instrumen yang sangat penting tentang arah dan prinsip dalam pembangunan terkait sumberdaya alam.”
Pengelolaan sumberdaya alam secara mendasar diatur dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian pemerintah memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya alam bagi kemakmuran rakyatnya. Kemakmuran rakyat menjadi tujuan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam oleh negara. Kendati pengelolaan sumberdaya alam yang adil guna mencapai kemakmuran rakyat merupakan tujuan bernegara yang dicita-cita oleh konstitusi Indonesia, undang-undang yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang sesuai dengan tujuan tersebut masih sangat terbatas.
Menurut catatan Hasim, pada halaman 101-105 di buku ini, hanya terdapat 7 (tujuh) peraturan perundangan sumber daya alam dan lingkungan dalam pengelolaan danau, diantaranya: UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem; UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan; UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air; UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang; UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah; UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup. Menurut Hasim, dalam merespon persoalan kerusakan ekosistem di danau Limboto, belum ada peraturan yang fokus dan spesifik membahas mengenai danau.
Ia lebih lanjut mengatakan bahwa, “Hal tersebut memberi penjelasan bahwa perhatian pemerintah terkait danau masih kecil. Juga, peraturan perundangan sumber daya alam dan lingkungan di danau Limboto masih bersifat sektoral, belum terpadu. Akibatnya banyak ditemukan adanya tumpang tindih antara peraturan satu dengan yang lainnya (Halaman 106).”
Fungsi undang-undang yang terpadu tersebut sangat penting bagi pengelolaan sumber air seperti danau, namun permasalahan yang begitu kompleks di Danau Limboto menunjukkan bahwa kerja pihak pemerintah belum efektif. Ini menandakan bahwa koordinasi antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah atau pemerintah daerah ke pihak-pihak yang mengelola danau secara langsung masih belum jelas. Kesimpulannya adalah adanya kerusakan ekosistem di Danau Limboto yang berdampak secara luas tidak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan pemerintah terkait mengenai pengelolaan danau. Selama ini pengelolaan Danau Limboto masih sektoral, belum terpadu. Artinya antar pihak masih belum fokus dan bersama-sama dalam pengelolaan Danau Limboto.
Setelah berdiskusi dengan teman-teman dan mempelajari hasil penelitian terkait Danau Limboto dari buku ini, saya mendapat pembelajaran bahwa gerakan pengelolaan danau perlu dilakukan bersama antar pihak, kemudian dikuatkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendukung pengelolaan danau. Lalu muncul pertanyaan di benak saya: Bagaimana dengan kondisi ekosistem Danau Setupatok dan masyarakat sekitar Danau Setupatok di Kabupaten Cirebon? Siapa saja pihak yang terlibat dalam pengelolaan Danau Setupatok? Apakah ada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Cirebon yang membahas dan mengatur mengenai pengelolaan Danau Setupatok? Apakah ada koordinasi antara lembaga pemerintah dengan masyarakat untuk pengelolaan Danau Setupatok?
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian memunculkan keingintahuan saya untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai Danau Setu Patok di Kabupaten Cirebon. Di tempat saya belajar sekarang (Saung Wangsakerta), salah satu kegiatan hariannya adalah menanam. Selain untuk kebutuhan sendiri, juga kami upayakan untuk jangka panjang dalam menjaga fungsi Danau Setupatok, yaitu sebagai persediaan air bersih, sarana irigasi, memitigasi persaoalan bencana seperti erosi dan banjir. Menanam yang mencakup diantaranya merawat kesehatan tanah sebagai bagian penting dari gerakan konservasi.
Lalu, bagaimanakah caranya menanam di kawasan sekitar (DAS dan Sempadan) Danau Setupatok yang luasnya mencapai kurang lebih 175 hektar?
Tentu sangat melelahkan apabila menanam di kawasan seluas itu hanya terdapat beberapa orang. Dengan begitu, perlu mengajak pelibatan masyarakat sekitar Danau Setupatok untuk mengelola dan menjaga danaunya sendiri. Tentu proses belajar bersama masyarakat tidak hanya dengan cara datang, lalu sosialisasi kemudian pergi tanpa melakukan tindakan konkret apapun. Salah satu kegiatan yang saya dan teman-teman berupaya terus dilakukan adalah pendampingan belajar bersama anak-anak dan ibu-ibu di Kampung Karangdawa, Desa Setupatok, Mundu-Cirebon, yang dilaksanakan setiap satu hari dalam satu minggunya
Proses yang kami lakukan yaitu ikut terlibat sejak dari aktivitas keseharian masyarakat, mulai dari mencangkul dan menanam di sawah warga, mengupas kulit bawang putih, bermain dengan anak-anak, dan lain sebagainya. Aktivitas tersebut membantu saya untuk mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat di kampung Karangdawa dan belajar apa saja yang terkait kehidupan di kampung, dan semoga langkah ini merupakan langkah awal dalam mengajak masyarakat untuk mengenali kembali situasi kampung mereka, termasuk di dalamnya mengupayakan tindakan bersama dalam konservasi kawasan Danau Setupatok.[]