Kerusakan DAS akibat Ego Sektoral dan Cara Pandang bahwa Alam adalah Sumber Daya yang Tak Terbatas
Catatan diskusi:
Diskusi kali ini merupakan lanjutan dari diskusi perubahan iklim dan krisis iklim pada bulan Oktober 2024, lingkup pembahasan diskusi kali ini lebih spesifik untuk memahami dan mengkaji lebih dalam tentang ekosistem DAS dan Sub—Das wilayah Cirebon yang termasuk dalam lingkup Cimanuk-Cisanggarung. Cimanuk membentang dari Garut hingga Indramayu, sedangkan Cisanggarung dari Kuningan hingga Brebes (Jawa Barat-Jawa Tengah).
Ekosistem adalah satu sistem alami, di mana semua makhluk hidup berinteraksi dengan hal yang bersifat fisik dan kimia (tanah, matahari, air, udara). Membicarakan ekosistem adalah suatu upaya untuk memahami sistem pendukung kehidupan kita; bumi adalah rumah kita yang menyediakan segala hal—Ekosistem dunia saat ini menghadapi tantangan terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, polusi masif, dan alih fungsi lahan telah menempatkan planet ini dalam kondisi kritis yang menuntut perhatian lebih intens dan aksi segera.
Ekosistem sebagai fondasi kehidupan, menjaga ekosistem berarti menjaga kesehatan dan ekonomi global, ketika ekosistem rusak maka ia tidak mampu lagi untuk menyangga dan mencegah bencana. Hal ini bisa kita lihat dan rasakan sendiri seperti kemarau yang lebih panjang,kenaikan suhu yang ekstrim, hujan yang terasa lebih asam yang berimbas langsung ke tubuh kita sendiri sehingga mudah terkena penyakit, bahkan bencana banjir (Aceh dan Sumatera) dan longsor, kemudian bahwa bencana yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah bencana alam melainkan bencana ekologis buatan tangan manusia itu sendiri (Ahmad Mahmudi).
Banjir di Aceh (Dok. Kompas.com 1 Des 2025)
Salah satu unit terpenting ekologis yang mempunyai hubungan erat dan timbal balik dengan ekosistem adalah Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke laut atau danau.
DAS bukan sekadar saluran air; ia adalah jantung hidrologi yang menghubungkan ekosistem hulu (hutan pegunungan), tengah (pertanian dan pemukiman), hingga hilir (pesisir dan laut). Keterkaitan antara ekosistem global dan DAS bersifat fundamental: hutan sebagai ekosistem darat utama berfungsi sebagai "sponge" alami yang menstabilkan iklim mikro dan siklus air regional, sementara DAS adalah pembuluh darah yang mendistribusikan sumber daya vital tersebut. Ketika ekosistem global—terutama hutan primer di wilayah hulu—mengalami degradasi akibat deforestasi dan perubahan iklim, kemampuan DAS untuk menampung dan mengatur air pun melemah akibatnya terjadi bencana alam.
Bencana alam ini seharusnya dipandang sebagai bencana ekologi karena buatan tangan manusia. Manusia terlalu sombong merasa berhak mengontrol dan punya kendali penuh atas alam. Pada diskusi tersebut Pak Ahmad Mahmudi menekankan bahwa permasalahan ekosistem ini sesuatu yang sangat kompleks tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Kerusakan ekosistem ini adalah masalah struktural dan sistemik, dalam hal ini baik lembaga pemerintahan, LSM, dan masyarakat harus saling berkerjasama tidak hanya saling menuding, mengacungkan jari, dan merasa paling tinggi mengenai pengambilan keputusan, peran, tanggung jawab, resiko, kewenangan dan kuasa terkait ekosistem. Oleh karena itu, memahami lebih
dalam tentang DAS dan apa yang harus kita lakukan terkait DAS adalah kunci strategis dalam mitigasi krisis ekosistem dunia, karena kesehatan sungai mencerminkan kesehatan lingkungan tempat kita hidup.
Opini Pribadi
Krisis ekosistem yang kita hadapi perhari ini bukanlah sekadar masalah teknis penanggulangan banjir atau kekeringan, melainkan cerminan dari kegagalan ganda: kegagalan ekologis dan kegagalan tata kelola. Kita terjebak dalam pandangan bahwa manusia selalu memposisikan diri sebagai pusat dan penguasa alam, bukan bagian dari alam. Pandangan ini bisa terlihat dari pembangunan di hulu (Kuningan/Garut) diprioritaskan untuk keuntungan ekonomi jangka pendek (perkebunan, pariwisata masif, alih fungsi lahan) tanpa memperhitungkan fungsi ekosistem sebagai modal alam (natural capital). DAS diperlakukan sebagai saluran pembuangan dan lahan kosong untuk dieksploitasi, bukan sebagai sistem penyangga kehidupan.
Secara kolektif, kita harus menolak dan menghentikan penggunaan istilah "bencana alam" dan menggantinya dengan "bencana ekologis" atau "krisis ekologis" dalam setiap forum publik, media, dan dokumen perencanaan. Perubahan bahasa adalah langkah awal untuk menggeser tanggung jawab. Ini memaksa semua pemangku kepentingan (pemerintah, industri, masyarakat) untuk mengakui peran tangan manusia dan mengalihkan fokus dari mitigasi dampak (membangun tanggul) ke restorasi akar masalah (memperbaiki hutan hulu).
Ada keyakinan naif bahwa kita dapat menyelesaikan masalah ekologis dengan solusi end-of-pipe misalnya, memperbesar gorong-gorong, membangun tanggul raksasa). Solusi ini gagal total karena tidak menyentuh akar masalah yaitu degradasi hutan sebagai sistem hidrologi alami. Kita mengakui bahwa kesejahteraan ekonomi kita bergantung pada kesehatan ekosistem.
Melindungi hutan hulu bukanlah suatu hambatan modernisasi pembangunan, melainkan investasi krusial dalam keberlanjutan pertanian dan perkotaan. Bukan hanya soal menanam pohon atau mengeruk sungai, tetapi yang lebih fundamental adalah soal siapa yang berhak mengambil keputusan, bagaimana kewenangan dibagi, dan bagaimana pertanggungjawaban ditegakkan. Tanpa memperbaiki tata kelola dan menghentikan ego sektoral, aksi teknis apapun hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang sia-sia.
Kerusakan DAS adalah masalah struktural karena kelembagaan yang mengatur sungai terfragmentasi dan sering bertentangan. Tragedi Pengawasan: DAS Cimanuk-Cisanggarung diatur oleh berbagai entitas: BBWS (pengelolaan air), KLHK (pengawasan hutan/konservasi), Pemerintah Provinsi (tata ruang makro), dan Pemerintah Kabupaten/Kota (izin di lapangan). Masing-masing memiliki Sistem Informasi Geografis (SIG), anggaran, dan kepentingan yang berbeda, seharusnya dari berbagai entitas tersebut saling berkolaborasi dan berpartisipasi nyata,
duduk berunding sama rata dengan satu tujuan yaitu memulihkan ekosistem DAS tanpa adanya tembok besar terkait entitas mana yang paling bertanggung jawab, paling berkuasa, paling berkepentingan atau saling menyalahkan. Ketika banyak pihak merasa paling bertanggung jawab, tetapi pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab saat bencana terjadi. Perlu dipertimbangkan kembali pembentukan Badan Pengelola Tunggal DAS Terpadu Cimanuk-Cisanggarung yang memiliki mandat lintas sektoral, didukung oleh Peraturan Bersama Kepala Daerah (Kuningan, Cirebon, Indramayu, Brebes, dsb.) dan BBWS. Badan ini harus memiliki kewenangan yang jelas untuk: memonitor dan menegakkan aturan tata ruang di hulu, tengah maupun hilir.
Program konservasi, rehabilitasi, dan restorasi harus mencakup tiga aspek penting yaitu politik, ekologis dan ekonomi masyrakat lokal bukan hanya penanaman simbolis. Kita tidak bisa hanya menuntut masyarakat hulu untuk berhenti berladang tanpa memberikan solusi ekonomi alternatif. Masyarakat hulu sering kali adalah korban dari sistem ekonomi yang memaksa mereka merusak lingkungan untuk bertahan hidup.
Kerusakan DAS adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam—yaitu ego sektoral dan pandangan
bahwa alam adalah sumber daya tak terbatas. Solusi yang kompleks harus mengatasi penyakit ini, menempatkan DAS sebagai prioritas keamanan nasional dan regional, dan menuntut semua pihak untuk menurunkan ego kekuasaan demi kelangsungan hidup ekologis.
Cirebon, 8 Desember 2025