Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

Integrasi Ilmu dan Kehidupan Sebagai Kritik dan Praksis (Bagian 2) 

Catatan lapangan
Wakhit Hasim
Cover Image for Integrasi Ilmu dan Kehidupan Sebagai Kritik dan Praksis (Bagian 2) 

Jika kesatuan ilmu dan kehidupan berorientasi pada perubahan sosial yang diandaikan oleh kesatuan produksi ilmu dan respon atas masalah secara terlibat, lalu bagaimana posisi paradigma ini dilihat dari ujud dan fungsi pengetahuan? 

ida2.jpg

Paradigma sebagai Kritik

Paradigma kesatuan ilmu dan kehidupan merupakan cara pandang kritis atas praktik ilmu dan pengabdian di satu sisi, dan di sisi lain merupakan kerangka usulan untuk bertindak dengan kerangka baru. Kritik atas ilmu dan pengabdian ditujukan kepada praktik model konvensional yang berlandaskan paradigma positifisme dalam ilmu, dan berorientasi pada kemajuan semata dalam pengabdian kepada masyarakat. 

Paradigma positifisme mendasari praktik yang memandang ilmu dipisahkan dengan kehidupan. Penelitian dilakukan bukan mengambil subyek masalah sosial dari masyarakat yang mengalaminya, namun mengambil sepenggal informasi sebagai data, dan mengolah data menjadi kesimpulan keadaan sosial yang diperlakukan secara umum. Seakan-akan masalah masyarakat dapat dilihat hanya dengan mengambil aspek kecil masyarakat, dan seakan-akan masalah masyarakat hanya sah diputuskan oleh peneliti. Aspek diskursif dalam masyarakat tidak tertangkap, dan masyarakat dianggap bukan subyek untuk berbicara. 

Implikasi pandangan positifistik dalam ilmu adalah kehilangan nilai humanistik pada proses pembentukan ilmu. Masayakat tidak diajak bicara dan mengambil kesimpulan tanpa konfirmasi dari orang yang mengalaminya. Ketika hasil ilmu ini menjadi bahan rekomendasi perbaikan masyaraka terkait, maka masyarakat itu akan menjadi obyek bagi pengabdi, akan menjadi terdominasi oleh pengetahuan yang tidak diproduksi bersama oleh masyarakat. Pengetahuan yang dihasilkan oleh riset positifistis akan terjatuh pada praktik pengabdian yang dominatif, memaksakan kepada masyarakat. 

Paradigma sebagai Praksis 

Bagaimana usulan untuk mengatasi paradigma positifistik dalam produksi ilmu dan pengabdian kepada masyarakat, akan dipaparkan berikut. Pertama, pengabdian menggunakan pendekatan riset terlibat, kedua pengabdian sebagai riset terlibat menempatkan kehidupan sehari-hari masyarakat yang disasar menjadi sumber ilmu pengetahuan, dan ketiga, pengabdian kepada masyarakat memfasilitasi dialog kritis dan emansipatoris dengan Masyarakat yang disasar. Hal ini merupakan hakikat dari dialog peradaban. 

Riset terlibat (participatory research), biasanya menggunakan pemantik masalah awal untuk direspon dalam aksi berama (participatory action research) akan selalu menjadi pendekatan awal bagi pengabdian kepada Masyarakat. Pengabdian tidak mungkin dilakukan dengan tiba-tiba meminta kepada Masyarakat untuk berkegiatan. Pengabdian harus dilakukan dengan assessmen awal bersama dengan masyarakat untuk menemukan kebutuhan mendasar, dan aspek yang menjadi kendala dan tantangan selama ini. 

Pengabdi akan memfasilitasi proses-proses assessmen dengan menyesuaikan situasi kesibukan dan kebiasaan masyarakat secara informal dan non formal. Hanya dengan kesepakatan tertentu dengan masyarakat maka pertemuan-pertemuan formal dilakukan untuk sasaran tertentu. Assessmen terlibat akan menghasilkan temuan yang terus menerus akan direspon secara reflektif dan berkembang, sesuai dengan kesadaran yang terus berkembang seiring dengan aktifitas pengabdian.  

Kehidupan sehari-hari warga yang disasar menjadi sumber pengetahuan utama. Masyarakat yang mengalami kehidupan sehari-hari, masalah-masalah dan repson mitigatifnya. Kejernihan menangkap masalah dan mitigasinya ini didalami, dicari kapan masalah itu muncul, apa faktor penyebabnya, kapan itu terjadi, apa paeristiwa yang menjadi penanda kuatnya. Bagaimana masyarakat merespon, mitigasi apa yang membuat mereka bertahan, apakah mereka dapat keluar dari masalah, apakah mereka dapat mengembangkan kehidupan mereka. Pengabdi akan memfasilitasi proses-proses engolah pengetahuan ini dari dasar bersama, pengalaman bersama. 

Dengan upaya ini maka masyarakat akan terlibat, tidak berjarak, dan memahami apa yang dibicarakan adalah kehidupan mereka sendiri. Mereka memiliki legitimasi berbicara mengenai diri sendiri, namun di sisi lain mereka juga terfasilitasi untuk memahami mengapa masalah itu muncul dan bagaimana proses historisnya. Pandangan kritis hanya dihasilkan oleh kepekaan atas masalah sehari-hari, dan pemahaman atas logika perubahannya dari waktu-ke waktu. Hasil pengetahuan yang didapat merupakan kesimpulan kritis di satu sisi, dan bersifat mendorong inpirasi perubahan mereka sendiri di sisi lain. Pengabdi akan bertanya apakah bapak ibu ingin berubah, atau tetap dalam masalah. Dengan sendirinya mereka akan ingin berubah. Dari sana menjadi dasar dari perencanaan aktifitas penyelesaiannya. Secara partisipatif. 

Inilah pada hakikatnya yang disebut dialog kebudayaan. Kebudayaan adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak untuk memahami diri sendiri, menyikapi diri sendiri, dan menyelesaikan masalah diri sendiri. Masyarakat ribuan tahun melakukan itu secara berkelompok, berada dalam tantangan alam yang berbeda-beda, menghasilkan ilmu dan teknologi yang berbeda-beda sampai sekarang. Masyarakat pengumpul dan peramu beradabtasi dengan kelimpahan produk alam di hutan sungai dan lautan. Masyarakat menetap menemukan pertanian dan peternakan sebagai kultivasi tanah, tumbuhan dan hewan. Teknologi pertanian dan peternakan menghasilkan daya dukung atas kehidupan menetap, sehingga muncul nagari, desa, pakuwon, di tepi-tepi sungai besar di dunia. Dari sana kerajaan berasal, dan berkembang menghasilkan agama-agama di dunia sebagai cara pandang hidup dan teknologi. 

Masyarakat modern mengembangkan alat, dan revolusi industri mengakselerasi perubahan alat cepat. Saat ini kita menghadapi situasi di mana alat ini menjadi suprematif, alat menjadi menguasai kita, bukan kita menguasai alat. Alam tidak seimbang, kerusakan ekosistem massif, pemanasan global menguat, es kutup mencair, rotasi bumi menjadi lebih cepat, musim tidak teratur, hama berkembang pesat, situasi pangan dan enerti tidak stabil. Dampak sudah terasakan sehari-hari saat ini.  

Kita membutuhkan seperangkat cara yang baru, tidak hanya sekedar melanjutkan saja apa yang ada tanpa refleksi dan pembaharuan. Paradigma ilmu dan kehidupan digunakan sebagai repson atas masalah ini. []

Cibogo, 06 April 2024


Bagikan

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru