Ilmu Pengetahuan tidak selalu ada di Sekolah
Aku dilahirkan disebuah desa dipinggiran kota Cianjur. Sejak kecil sudah akrab dengan dunia pertanian dan peternakan karena di desaku pertanian dan ternak adalah kehidupan utama warga desa. Kakekku, Aabah” sebutan kakek dalam bahasa sunda, sejak aku kecil mengajak aku kesawah. Abah mengajak aku menanam dan merawat padi, walaupun sebenarnya waktu itu aku lebih sibuk menangkap belalang.
Pernah suatu ketika aku melemparkan benih padi untuk ditandur. Lemperanku malah mengenai kepala orang yang sedang tandur. Kakek marah, “benih padi itu dilemparkan dari pematang sawah ketengah sawah untuk memudahkan orang yang sedang nandur. Tidak merusak garit untuk menanam padi”, katanya.
Aku sangat menikmati waktu kebersamaan bersama para petani ketika istirahat disela-sela bekerja . Biasanya para petani membawa bekal ataupun diantarkan bekal oleh keluarganya. Para petani bersepakat membawa menu makanan yang berbeda dan nanti saling berbagi lauk pauk. Ada yang membawa ikan pindang, ikan asin,dan menu lainnya. Makan di swah seperti ini sungguh nikmat. Walaupun sekarang sudah banyak rumah makan yang bertema pesawahan, mungkin niatnya untuk meniru kenikmatan makan di sawah, akan tetapi tidak bisa menggantikan rasa nikmat seperti ini. Kebersamaan ketika makan bersama setelah lelah bekerja, duduk berlantai tanah berumput di gubuk kecil sambil merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu keringat para petani.
Aku sangat bersyukur dilahirkan di perdesaan karena disini aku banyak belajar hal-hal yang tidak dapat dibangku sekolah, aku juga semakin menghargai apa itu proses dan tidak berorientasi pada hasil. Seperti halnya aku melihat dari proses dan kesabaran petani. Aku belajar dari proses dimana para petani memulai mempersiapkan lahan yang akan ditanami, menyiapkan benih padi serta menaburnya. Mereka bekerja keras untuk merawat tanaman yang mereka tanam. Memastikan tanaman tersebut tercukupi airnya, kebutuhan pupuknya, memperhatikan apakah tanaman padi yang mereka terserang hama apa tidak. Mereka bekerja keras walaupun hasilnya belum bisa dilihat dengan pasti.
Aku juga sangat dekat dengan dunia peternakan karena Abah selain bertani memiliki usaha produksi telur asin dan jadi penjual telur bebek. Telur tersebut didapat dari peternak bebek yang ada di sekitar daerahku. Kebanyakan peternak pindah-pindah tempat mencari lahan untuk menggembala (Angon dalam bahasa Jawa/Sunda) bebek mereka. Tekhnik Angon ini merupakan cara untuk mengurangi biaya pakan, bahkan meraka tidak mengeluarkan biaya pakan. Bebek dilepas ke area persawahan yang sudah dipanen agar mereka mencari makanan sendiri yang ada di sawah. Biasanya ada sisa gabah, keong, dan serangga-serangga kecil yang ada di sawah. Para peternaknya hanya mengawasi agar bebek-bebeknya tidak memakan padi yang belum dipanen.
Terkadang ketika libur sekolah aku sering ikut kakekku ke kandang para peternak bebek angon. Kegiatan yang paling aku sukai adalah mengambil telur yang sangat banyak berserakan dikandang bebek ketika pagi hari. Bebek itu hewan penakut, kalau didekat ia akan lari, Kalau ingin diambil telurnya, biasanya bebek dikeluarkan dari kandang terlebih dahulu agar bebek tersebut tidak menginjak telur karena panik. Bebek bertelur dini hari, jika ada bebek yang belum bertelur hingga jam 6 pagi dapat dipasikan bebek tersebut pada hari itu tidak bertelur. Aku pernah dapat cerita dari peternak ternyata bebek juga bisa telat bertelur, atau bertelur di area persawahan tempat angon.
Selain bebek, Abah juga beternak domba garut. Abah punya lima domba garut yang memiliki ciri khas tanduk yang besar yang tampak gagah, serta postur yang besar dibandingkan domba lokal lainnya. Aku ikut mencari rumput untuk pakan domba walaupun terkadang aku memilih bermain bersama teman-teman.
Suatu ketika Kakak memberi aku diberi satu pasang anakan ayam bangkok untuk aku pelihara, “nih buat kamu ayam bangkok agar kamu biasa ngurus ayam. “kenapa si bah harus pelihara ayam?” tanyaku, lalu Abah menjawab “ya buat makan tambahan biar gak usah beli-beli ayam, kan mubajir juga nasi sisa kalau gak ada ayam dan kalau ada ayam lebih bisa kita jual juga kan”. Aku menerima dan memeliharanya. Namun ayam itu mati. Kata Abah, ayamnya kena “tetelo”. Tetelo istilah untuk penyakit yang membuat ayam mati mendadak yang disebabkan virus ND (News Castledesease).
Pendidikan yang diajarkan abah dan juga lingkungan disekitarku inilah yang membentuk aku. Aku lahir, tumbuh dan berkembang di pedesaan yang memiliki lahan sawah yang sangat luas sebagi lumbung pangan untuk memasok area perkotaan. Abah menjadi fasilitator utama yang mengantarkan aku belajar pada para petani dan peternak. Aku banyak banyak belajar budaya memproduksi daripada mengkonsumsi. Hal ini berbeda sekali dengan pendidikan yang aku terima dari sekolah formal. Dari mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah atas yang lebih memitikberatkan pada dunia industri dalam hal ini menjadi pekerja pabrik.
Dibangku SMA, aku harus merasakan full day school pertama kalinya dimana aku masuk pukul 07.00 pagi dan pulang pukul 15.30. Model belajar yang sangat melelahkan bagiku. Aku harus belajar di sekolah 8 jam setiap hari seperti pekerja pabrik. Belum lagi sesudah pembelajaran sekolah beres aku harus sibuk dengan kegiatan eksatra kulikuler dimana aku menjadi pengurus PMK dan ikut di senirupa.
Kegiatan padat tersebut membuat aku dan temanku semakin berjarak dari lingkungan tempat tinggal. Pulang ke rumah sudah sore dan kadang malam, belum belum lagi tugas-tugas sekolah yang datang bertubi-tubi membuat aku dan mungkin kebanyakan teman-temanku sibuk dengan tugas-tugas tersebut. Mungkin ini juga yang menyebabkan adanya jarak antara siswa dan orang tua mereka, padahal di perdesaan banyak ilmu sehari-hari yang bisa didapatkan dari lingkungan sekitar.
Aku pernah menanyakan kepada teman-temaku tentang apa tujuan yang akan mereka capai setelah lulus SMA? kebanyakan mereka menjawab mencari pekerjaan, entah itu melamar ke pabrik tekstil yang sekarang banyak berdiri di daerahku, atau melamar pekerjaan sebagi pekerja minimarket. Ada juga yang ingin melanjutkan keperguruan tinggi. Sekarang ini lagi trend masuk jurusan IT karena menurut mereka prospek karir dan gajihnya besar. Aku lihat banyak lulusan perguruan perguruan tinggi yang ada dikampungku memilih menganggur daripada bekerja kasar bertani kotor-kotoran. Banyak lahan dibiarkan menganggur dan sumber-sumber daya alam lokal pun tidak dimanfaatkan. Aku pernah ngobrol dengan seorang petani padi di desaku yang mulai sepuh. Dia menggarap lahan yang cukup luas. Dia cerita anak-anaknya tidak mau menggarap lahan yang dia kelola.
Para sarjana tidak bisa diandalkan untuk meneruskan pekerjaan orang tuanya. Anak-anak muda lebih mahir ilmu-ilmu sekolahan dan universitas dari pada keahlian alamiah yang dulu relevan dengan lingkungan dimana mereka tinggal. Pendidikan di sekolah kurang relevan dengan kehidupan seakan akan ilmu itu hanya ada di buku dan tidak ada di masyarakat. Kurikulum yang di terapkan kebanyakan berpusat pada bidang studi yang tersusun secara logis dan sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari anak didik. Apa yang dipelajari anak didik tampaknya hanya memenuhi kepentingan sekolah untuk ujian, bukan untuk membantu totalitas anak didik agar hidup lebih efektif dalam masyarakat.
Sekarang aku menyadari pendidikan yang diajarkan Abah kepadaku ini berkaitan dengan kearifan lokal dan potensi lokal yang ada di daerahku terutama dibidang pertanian. Abah mengajari proses belajar dengan kontekstual. Memahami ilmu pengetahuan tidak selalu ada disekolah, justru ilmu sangat banyak bertebaran di masyarakat. Abah secara tidak langsung mengajari aku tentang apa itu observasi, mengamati kehidupan masyarakat kampung dan permasalahannya walaupun pada saat itu aku kurang memahaminya.[]
*) Angga Ahmad Muzaki, mahasiswa prodi Filsafat Agama Islam IAIN SNJ Cirebon. Saat ini sedang mengikuti program Ngenger angkatan 3 Sekolah Alam Wangsakerta