GENERASI KONSUMTIF, GENERASI KEPATEN OBOR!
Awal tahun 2024, hujan mulai turun dan membasahi lahan kami. sejak saat itu, saya dan kawan-kawan di saung Wangsakerta kembali menggarap lahan, setelah sebelumnya tidak bisa menanam sebab tidak ada air.
Kami saling berbagi lahan sesuai kemampuan masing-masing, memakai metode menanam dan menanam tanaman sesuai keinginan sendiri. Seperti Aty dan Najib yang hanya menanam Rosella, Faiz yang menanam Jagung, pepaya, serai dan Rosella, atau Angga yang menanam berbagai jenis tanaman dari mulai serai, pisang, selasih, rosella dan tanaman bunga-bungaan yang dimaksudkan untuk menarik hama agar tidak mengganggu tanaman yang di budi daya. Saya sendiri hanya menanam rosella sebagai tanaman wajib dan timun suri untuk persiapan bulan puasa nanti.
Aktifitas tersebut membuat kami lebih sering dan lebih akrab dengan sabit, garu dan cangkul, hingga kami semakin mengetahui bentuk cangkul dan doran (gagang cangkul) yang enak ketika digunakan. Tapi sayangnya banyak alat-alat kami yang tidak berfungsi dengan baik, seperti sabit yang tumpul, pegangan garu yang patah, dan doran cangkul yang mudah lepas bahkan banyak yang patah.
Ahirnya kami harus bergantian dalam menggunakan alat-alat tersebut, terutama cangkul. Kendala yang kami hadapi membuat pengerjaan pengolahan lahan terhambat, sedangkan kami harus bekerjaran dengan musim. Sebisa mungkin sebelum musim berganti, tanaman kami semua hususnya Rosella sudah memasuki fase generatif sehingga tidak lagi membutuhkan banyak air.
Beberapa kali kami membeli doran dari toko bangunan kualitasnya kurang bagus, ia mudah sekali patah. Ahirnya saya mencoba untuk membuat doran sendiri. Saya memilih kayu pohon mengkudu hutan untuk dijadikan doran. Karakternya yang mudah dibentuk dan lumayan kuat menjadi alasan mengapa saya memilih pohon tersebut.
Sebenarnya banyak pohon lain yang kuat dan biasa di manfaatkan untuk doran, seperti kayu Jati, Kayu Asem, Kayu Nangka, Kayu Sonokeling dan Kayu Lamtoro, namun pohon-pohon tersebut tidak ada di tanah yang kami kelola. Kayu terakhir, banyak ditemukan dan tumbuh liar di sekitar saung baru saya ketahui ketika Bi Rasem, anggota Keluarga Sadar Iklim yang sering main ke Saung mengomentari doran yang saya buat “Kayu apa itu? Pakai kayu bendana (Lamtoro) buat gagang cangkul mah, dulu bapak saya pembuat gagang cangkul”, ungkap Bi Rasem. Alasan paling mendasar mengapa saya memilih untuk membuat doran sendiri adalah dalam rangka menjadi generasi yang tidak “Kepaten Obor”, sebuah istilah yang dipredikatkan kepada kami dari Noer Fauzi Rachman saat mampir ke Saung Wangsakerta tahun lalu.
Istilah "Kepaten Obor" ini ditujukan bagi generasi yang kehilangan warisan pengetahuan dari orang tua atau nenek moyangnya tentang pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya lokal. Misalnya seorang anak petani yang sangat awam dengan dunia pertanian, seorang anak peternak yang bahkan memberi makan ternaknya saja tidak bisa, atau lebih dalam lagi penduduk desa yang menjadi alien di Desanya sendiri, Ia menjadi asing karena tidak mengenali apa yang ada disekitarnya.
Saat itu, kami di cap generasi yang kepaten obor karena tidak bisa membedakan pohon bambu, yang mana anaknya, bapaknya dan yang mana kakeknya, tidak bisa membedakan mana pohon bambu yang berdiri sendiri dan mana yang berdiri diatas mayat orang tuanya, dari kedua itu, anakan mana yang akan dibiarkan tumbuh dan anakan mana yang harus di potong. Kami sama sekali tidak mengetahui itu, padahal barongan bambu itu berada persis di depan saung.
Begitupun ketika saya membuat doran sendiri, komentar Bi Rasem tentang kayu Lamtoro yang biasa dimanfaatkan untuk doran cangkul semakin menguatkan predikat yang saya emban sebagai generasi yang kepaten obor. Apa yang terjadi pada Desa jika generasi muda hari ini sama seperti saya?
Kiranya jika fenomena itu terus menerus terjadi, desa akan semakin banyak kehilangan sumber dayanya. Seperti hilangnya banyak barongan bambu di desa karena generasinya tidak lagi mengerti dan memahami arti penting bambu dalam kehidupan, yang ahirnya tidak ada kesadaran untuk menanam. Hilangnya pohon-pohon lain sangat mungkin terjadi karena ketidaktahuan dan keterputusan pengetahuan yang terjadi antara orang tua dan anaknya dalam memahami lingkungan sekitar.
Lebih lanjut, dengan hilangnya sumber daya di desa maka desa juga akan kehilangan banyak budayanya. Seperti mulai hilangnya pohon kelapa dan hilangnya kebun singkong di desa, maka jelas budaya produksi bahan pangan, distribusi dan konsumsi olahan pangan lokal juga akan hilang.
Dulu, saat tidur di mushola saya dan kawan-kawan sangat mudah menemukan bahan pangan ketika lapar dimalam hari datang, menerobos masuk ke kebon singkong dan mencabutnya barang satu dua pohon.
Pagi harinya, kami sangat mudah menemukan olahan makanan dari kedua bahan pangan tersebut di penjual sarapan atau menunggu penjual pangan lokal berkeliling menjajakan berbagai jenis olahan pangan lokal.
Siang harinya kami sangat mudah menemukan pohon kelapa untuk dipanjat ketika saya dan kawan-kawan merasa haus setelah bermain.
Sekarang sulit menemukan pohon kelapa menjulang di pekarangan rumah, tak terlihat lagi kebun penyelamat lapar ketika malam hari. Sekarang penjual olahan pangan lokal sudah jarang bahkan tidak ada, penjual sarapanpun sudah tidak lagi menjajakan pangan lokal. Selain nasi dan bubur, hanya ada aneka gorengan yang bahan dasarnya bukan berasal dari dalam desa sendiri.
Sekarang, apa yang dikonsumsi generasi hari ini? Hampir semua yang dikonsumsi berasal dari luar desa. Jika fenomena ini terus berlanjut, suatu saat nanti bukan tidak mungkin jika generasi saya akan mengalami kelaparan karena hanya tahu makan tanpa mau menanam, hanya tahu mengkonsumsi tanpa mau memproduksi.
Semoga tidak terjadi.
Tambi Lor, Indramayu.
24 Februari 2024