Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta
Strategi UmumCatatan LapanganNgengerJelajah EnsiklopediaDonasi
kontak

Bertani: Sebuah Upaya Melatih Kepekaan

Catatan Lapangan
Faiz Naufal Dhiya'ur Rochman
Cover Image for Bertani: Sebuah Upaya Melatih Kepekaan

"Kita sih, meng sawah bisa sampe ping telu. Baka ning umah kah perasaan endas kuh puyeng. Tapi, embuh baka wis teka ning sawah, kaya-kaya kuh plong"

Ujar Mang Sawab,seorang petani di desa Kalideres. Diusia paruh baya ia menggarap dua lahannya seorang diri, anak-anaknya mengadu nasib di perantauan. Kedua lahan tersebut ia tanami padi dan cabai. Saya sengaja pergi ke sawah untuk melihat, berkenalan dan mengikuti aktivitasnya. Disela-sela kami sedang menyiangi rumput gulma dipematang kebun cabai miliknya, ia menanyakan untuk apa anak muda seperti saya datang ke sawah, panas dan capek, lebih baik pulang saja. Bahkan, dikira saya hendak pergi ke waduk yang terletak tidak jauh dari lokasi sawahnya. Belakangan ini waduk itu juga digadang-gadangkan pemerintah desa sebagai daya tarik spot wisata yang ada di desa kami. Pasalnya, tidak sedikit anak-anak hingga dewasa, dari dalam atau luar desa yang berkunjung kesana. Terlebih anak muda, hampir tiap hari, dari siang menjelang sore hari ada saja yang pergi ke waduk untuk bersantai, membeli
jajanan, berkumpul bersama teman atau kekasih sekedar melepaskan penat sambil mengisi waktu luang.

Pun, itu jawaban sederhana saya mengapa pergi kesawah dan ikut membantu aktivitas mang Sawab. Layaknya anak muda yang lain, dengan spontan menjawab “Ari ning uma bae kah putek mang pikirane”. Seraya mengiyakan, seperti apa yang diutarakan mang sawab diparagraf awal, disamping memang pekerjaannya sebagai petani. 

Tapi, bukankah pernyataan semacam ini (yang kami katakan) sebetulnya hanya kalimat penyemangat atas suatu harapan ditengah berbagai problema yang hadir. Mengingat, tantangan para petani disini saat memasuki musim ketiga (tidak ada hujan) harus menghadapi kekurangan air, atau dikala musim rendheng (musim hujan) tak jarang juga wini/benih padi yang baru ditanam itu gagal tumbuh direndam banjir oleh luapan air yang datang melimpah. Belum lagi menghadapi serangan hama,ongkos produksi, dan harga jual yang kerap naik-turun.

Nampaknya, bagi sebagian orang merencanakan bagaimana waduk dapat menjadi daya tarik wisatawan lebih menarik ketimbang menyelesaikan masalah bagaimana waduk dapat mencukupi kebutuhan air bagi para petani saat datang musim ketiga, yang sudah tentu membutuhkan energi dan waktu yang tidak sebentar. Para petani, sebagai produsen bahan pangan yang mungkin saja hasil panennya anda sajikan dalam meja makan acapkali menghadapi serangkaian masalah yang tak kunjung membawa titik terang. 

Dalam buku Melihat Desa dari Dekat karya Nurhady Sirimorok mengisahkan suatu memoar dari seorang petani Kakao di Sulawesi Selatan. Pada massa jaya Kakao, tak ada satu pun teman sebayanya yang berminat untuk melanjutkan sekolah. Bahkan, pernyataan ‘walaupun tak ada sekolah yang penting punya pohon kakao’  muncul dari perkataan orang-orang bugis petani kakao. Akhir dasawarsa 1990-an saat rupiah sedang turun dibarengi dengan limpahan buah dan harga kakao yang tengah melambung. Menjadi petani merupakan status sosial yang cukup mentereng. Namun, masa itu kini telah lenyap. Hari ini, orang-orang tua rela mengumpulkan uang demi menyekolahkan anak-anak mereka, agar bisa mendapat pekerjaan selain petani.

Cerita dari buku itu mengingatkan saya dengan apa yang dialami Mang Suradi. 

2.jpg

Kala itu, saya sedang membantu uwa pergi ke sawah, menebar kombinasi pupuk urea dan phonska dilahan seluas satu setengah bahu. Sewaktu kecil, jangankan ikutan mupuk jalan dipematang sawahpun kami  akan diteriaki pemilik sawah “aja mono-mono”. Waktu itu, saya belum mengerti apa kandungan dari pupuk ini dan mengapa harus diberikan. Uwa hanya bilang, selang 1 minggu setelah padi ditanam ke lahan  saatnya melakukan nggarem (sebutan lokal yang berarti pemupukan). Baru selesai setengah lahan nggarem, hujan tiba-tiba turun. Kami bergegas memindahkan sisa pupuk dan berteduh di gubuk yang berada disekitar. Petani lain mengikuti, sebab hanya ada satu gubuk.

Gubuk ini kira-kira berukuran 3-5 meter. Cukup untuk menampung kami (5 orang) menghalangi derasnya air hujan. Sesekali air hujan dari hembusan angin membasahi sebagian baju yang kami pakai. Suasana ini memberikan kesempatan bagi saya untuk mendengar berbagai macam cerita dari para petani. Mulai dari kelangkaan pupuk subsidi, perawatan padi hingga nostalgia dari Mang Suradi. 

Mang Suradi, seorang petani yang humoris memikat telinga saya untuk terus cermat mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Semasa jaman sekolahnya dahulu, saat usianya menginjak remaja ia merasakan bagaimana menjadi pengangon bebek lebih menjamin
ketimbang pergi ke sekolah. Ditengah kondisi ekonomi sedang sulit, yang adadalam pikirannya saat itu bagaimana bisa memakan nasi yang ‘layak’. Jika ia hanya pergi ke sekolah, pulang dari sekolah lapar, yang ada dirumah hanya nasi aking. “Daripada seperti ini terus, lebih baik ngangon bebek aja bisa makan nasi”.

Keberhasilannya mengurus bebek, setidaknya mampu mengubah situasi kehidupan sehari-hari yang ia alami saat itu. Ia mengangon bebeknya dari satu desa ke desa lain, dari satu sawah ke sawah lainnya. Pengalaman itu membuat ia mengerti kebutuhan bebek, mulai dari perawatan hingga sumber makanan yang tersedia di lahan sawah pasca panen.

Bukan hanya mengetahui ilmu tentang bebek, tapi berkat sering berkeliling diberbagai desa, ia juga menemukan adanya perbedaan rasa nasi dari hasil padi yang ditanam pada suatu lokasi berbeda. Meskipun, hanya berjarak satu desa. Saat itu, lewat ceritanya saya jadi mengerti dulu pernah ada cerita, bahwa padi yang ditanam didesa Kalideres menghasilkan nasi yang wangi dan pulen. Bahkan membuat kerabatnya yang tinggal dilain desa merasa ketagihan. Kini? tak ada lagi, hampir semua varietas yang ditanam seragam. Semua yang diceritakan dahulu perlahan hilang ditengah berisiknya arus modernisasi.

Pengalaman Mang Suradi dalam mengangon bebek kala itu, berbeda dengan seorang lelaki paruh baya yang saya temui belakangan ini, ia merupakan pribumi yang tinggal dikaki Gunung Geulis. Sempat juga merasakan seperti apa yang Mang Suradi katakan, saat sumber makanan bebek mudah ditemui pada lahan sawah di sekitar tempat tinggalnya sebelum akhirnya pabrik dan perumahan masif berdiri. Mengubur lahan-lahan produktif dengan bangunan-bangunan permanen. Meski masih menyisakan sebagian sawah, namun tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sumber makanan bebek dalam jangka waktu yang panjang (setidaknya saat bebek berada pada fase produksi). Akibatnya, ia harus melancong ke lain kabupaten yang dianggap masih menyediakan sumber makanan untuk mencukupi kebutuhan bebeknya. Tapi, hasilnya diluar prediksi, sumber makanan dan produksi telurnya semakin menurun. Perbedaan tata cara panen padi yang digunakan para petani mengalami perubahan. Alat-alat besar yang mampu menggantikan setidaknya 6 tenaga buruh tani memberikan dampak dalam ketersediaan sumber makanan bebek. Apalagi, para peternak bebek yang menggunakan sistem angon ini memanfaatkan lahan sawah pasca panen, persis setelah alat-alat besar itu diterjunkan ke sawah. Menurutnya, bukan hanya tata cara panen yang berubah, tapi juga ketersediaan makanan bebek yang didapat dari sisa-sisa hasil panen itu semakin sedikit. Akibatnya, ia terpaksa untuk menggulung tikar usahanya dan menjual bebek-bebeknya.

Singkatnya, masyarakat desa telah mengalami perubahan. Sektor-sektor yang dahulu mampu menghidupinya kini mengalami pasang-surut. Anak-anak yang mereka sekolahkan, kini sudah lebih pintar untuk membaca dan menghafal huruf-huruf, sudah lebih mahir juga dalam berhitung. Namun, bukan untuk bekerja sebagai petani. Orang tua mereka mengkhawatirkan nasib yang sama terjadi pada anaknya, pun sebaliknya.

Tapi, apa betul bahwa meninggalkan budaya bertani adalah sebuah solusi yang tepat?

****

Sejak bulan juli 2023, saat Yayasan Wangsakerta membuka Program Belajar Ngenger. saya memutuskan untuk mengikuti proses belajar. Waktunya selama 3 bulan, dan bersedia untuk mondok. Tempat kami, berada di sebelah barat danau Setupatok. Minggu pertama, setelah menyepakati kontrak belajar, kami memulai dengan mengkhayati lingkungan sekitar. Mengaktifasi kembali hampir seluruh panca indra. Melihat, mendengar, merasakan, mencium, tapi kurangi berbicara. Aneh bukan?! biasanya di sekolah-sekolah formal para siswa dituntut untuk aktif berbicara, mengulangi hasil materi yang diberikan para guru. Jika tak mampu, akan dicap bodoh!!

Disini, selama proses pembelajaran kami dibekali beragam pengetahuan dasar memuliakan tanah dan teknik budidaya pertanian organik. Saat ini, selepas Ngenger selesai. Saya memilih untuk tetap melanjutkan belajar, ditemani dengan 5 orang warga belajar lainnya yang masing-masing berasal dari desa berbeda. Memasuki musim hujan, kami menyambutnya dengan memusyawarahkan rencana mengolah lahan garapan. masing-masing dari kami mengambil bagian semampunya.

Meski hanya mampu satu bedeng, tak masalah. ‘sesibuk apapun kamu, jangan tinggalkan bertani’. Itu yang disini, guru kami ajarkan!! Perkataan yang setidaknya selalu ingin saya dengar muncul dari mulut orang tua, guru-guru di sekolah, tokoh agama, tokoh masyarakat, anak-anak muda, orang-orang desa dan
berbagai kalangan lainnya. Perkataan itu seakan memberikan umpan balik terhadap cara pendidikan formal dan lingkungan sosial yang malah menjauhkan kami dari budaya bertani. Menjauhkan kami dari suatu keterampilan untuk memproduksi apa yang dikonsumsi.

Ditengah setumpuk persoalan yang menyerang sektor pertanian seperti apa yang saya temukan di desa sendiri. Bukankah, proses pendidikan menjadi kian penting? Pendidikan yang kian menjawab persoalan yang selama ini terjadi pada kehidupan nyatanya. Bagaimana jika para orang dewasa sengaja mengirim anak-anaknya ke sekolah untuk dapat membantu mengurai permasalahan yang selama ini menimpa tempat tinggalnya?

Perlahan saya menyadari, kami sedang dididik untuk melihat apa yang selama ini terjadi pada lingkungannya, kehidupan nyata sehari-hari. Saat sektor pertanian kian tidak menjanjikan, banyak orang desa akan meninggalkannya. Pelan-pelan babak baru telah terjadi. Orang desa harus mampu beradaptasi dengan perkembangan era ini. Mereka juga harus mampu mengevaluasi kebiasaanya, setidaknya dari gaya hidup yang dihembuskan orang kota.

Lewat akses yang diberikan wangsakerta, saya menggarap lahan seluas202 M². Di petakan lahan ini saya melakukan serangkaian uji coba pertanian berkelanjutan. Saya belajar barangkali dari hal yang paling mungkin untuk saya lakukan. Yakni bertani.

****

Siapa bilang bahwa bertani kian tidak menarik?

Anda barangkali memang harus merasakannya, sebab banyak pengetahuan yang akan anda dapatkan dari aktivitas bertani. Tentu tidak membosankan!! Coba saja anda baca beragam catatan lapangan dalam website ini atau pada laman lain, betapa sebetulnya kebahagiaan itu muncul jika anda berhasil menemukan formula secara mandiri.  Siapa tau anda tertarik untuk mencobanya sendiri, menemukan sesuatu yang selama ini anda harapkan!!

Bertani bukanlah suatu aktivitas yang hanya bisa anda pandang dari satu sudut saja. Dalam kasus yang sudah saya tuliskan di naskah ini, coba cermati lagi. Kira-kira apa saja yang membuat para petani mengeluh?

Ketersediaan air, cuaca, pupuk, alat-alat, flora & fauna, manusia, tanah, hama, dll?

Semuanya terhubung dalam satu aktivitas yang dinamakan bertani. Bayangkan saja, bagaimana jika anda menguasainya, menarik benang merah dari semua aspek? Mengurainya satu persatu, kemudian menyusunnya kembali dengan mempertimbangkan semua aspek.

Mungkin tak terjadi seperti pada kasus pertama, ketegangan antar sebagian orang yang menginginkan waduk sebagai wisata dan sebagian lagi menginginkan waduk sebagai fungsi. Bahkan jika direnungkan, anda akan bisa menawarkan solusi yang lebih objektif. Waduk yang tidak hanya bernilai fungsi tapi juga artistik. Dalam hal lain, misal, apa yang nenek moyang kita temukan, tatkala terasering menjadi suatu model konservasi tanah dan air di kawasan pegunungan. Canggih, bukan? 

Persoalan kedua, anda juga dapat menemukan bahwa cara bertani tidak melulu dengan menggunakan pupuk kimia. Melawan ketergantungan pupuk kimia dengan menggunakan tata cara pertanian organik, akan membuat anda sadar atas kekayaan/kekurangan sumber daya yang dimiliki desa atau lingkungan yang kalian tinggali. Hal ini akan membangkitkan
imajinasi anda tentang banyak peluang yang bisa anda lakukan tanpa harus keluar kota atau bekerja sebagai pegawai. Coba saja bayangkan, jika ternyata anda mampu memproduksi pupuk secara mandiri.

Selanjutnya kesadaran akan pengetahuan mengelola tanah juga kian akan anda kuasai, jika anda mau melakukannya dengan berbagai uji coba. Barangkali, bukan hanya karena berdirinya bangunan-bangunan permanen/penggunaan alat-alat besar yang dapat mengikis ketersediaan pakan bebek. Tapi, penggunaan pupuk kimia terus menerus yang juga mengakibatkan berkurangnya biota tanah. Jika seperti ini, wajar saja sebab tanah mulai kehilangan komponen biotik yang menjadi sumber makanan bebek. Disisi lain, mengangon bebek disawah juga dapat meningkatkan kesuburan tanah, karena terdapat kandungan Nitrogen, Fosfor, dan Kalium pada kotoran bebek. Coba saja cek di internet!!

Jadi, tunggu apalagi?

Anda yang masih muda, memiliki kelebihan untuk dapat menghimpun informasi sebanyak mungkin, mari kenali lingkungan yang selama ini menghidupi anda, sebelum hal itu makin anda tidak kuasai. Bukankah, akan lebih menyedihkan jika digenerasi mendatang kita semakin kehilangan keterampilan dan pengetahuan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki. Tatkala air, tanah, udara, dll hanya dimiliki untuk kepentingan sebagian/sekelompok orang. []




Bagikan

Kontak

Informasi lebih lanjut

yayasan.wangsakerta@gmail.com

Jl. Jeunjing RT 06/RW 01 Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon 45145

Formulir Kontak

Yayasan Wangsakerta
Yayasan Wangsakerta

Mewujudkan masyarakat yang cukup pangan, cukup energi, cukup informasi, dan mampu menentukan diri sendiri.

Profil

Siapa Kami

Ngenger - Sekolah Alam

© 2022 - 2024 Yayasan Wangsakerta. All rights reserved. Design by Studiofru